Friday, December 26, 2008

Alternatif tempat Reuni AKBAR 93 FKT UGM

Reuni yang sebentar lagi akan dilaksanakan di Yogya, nampaknya bukan sebagai satu-satunya alternatif tempat reuni yang menarik untuk di datangi teman-teman. Terbukti ada dua orang volunteer dari angkatan kita bersedia untuk survei lokasi alternatif.
Adalah Dana dan Imron yang dengan semangat angkatan 93 berinisiatif mencari lokasi alternatif. Setelah berunding lebih dari 5 minggu akhirnya tanggal 26 Dezember 2008, keduanya melakukan perjalanan suci mencari alternatif lokasi reuni.
Perjalanan yang ditempuh lebih dari 24 jam, akhirnya mendaratkan mereka berdua di sebuah stasiun di dekat perbatasan Chezh Republik dan Jerman, stasiun Dresden Hbf.

Segera mereka menyusun PK1, berupa daftar lokasi yang harus di survei.
1. Dresden Hauptbahnhoft


lokasi ini sangat strategis untuk pertemuan reuni akbar 93, terutama bagi yang jam terbangya tinggi seperti pak Lurah aji, den bagus Slamet, Pak Lik Tony atau Om Mirza. Namun sayangnya nggak ada tempat duduknya. Tim segera berpindah ke lokasi lain.


2. Museum August der Stärk
bagi seniman sekelas Amin "menyink" museum ini nampaknya menarik untuk dijadikan tempat pertemuan. Namun mosok cuman Menyink doang yang mau reunian di museum ini. Dicoret dari daftar.

3. Weinachtmark
disini tempat yang sangat cocok bagi ibu-ibu yang suka belanja seperti bulik Susan, Yu Hesti, mbok Isfi, Tante Gustiani untuk menyalurkan hobi2 utamanya. Namun kalau dipakai untuk mikir serius tentang angakatan kita, ternyata ini bukanlah tempat yang cocok untuk kita, karena pasti pada sibuk nyari oleh-oleh. Atau buat Mandra mungkin malah sibuk cari Glühwein.


4. Sungai Elbe
Ide yang muncul untuk mensurvei tempat ini adalah pengalaman mandi bareng di sungai waktu PU Budidaya, bisa jadi menjadi tempat yang paling menarik untuk berkumpul sambil kungkum2 kaki atau mancing. Ee... kok ya dinginnya di musim winter bikin tulang kaki rasanya mau lepas dan nyeri. Takut nggak cocok untuk tempat pertemuan, akhirnya Dana melanjutkan aktivitas lainnya, foto-foto di depan sungai dengan latar belakang mbak-mbak Bule, ya kalau2 bisa dibawa oleh2 untuk yang belum rabi. Mengingat nggak ada tempat yang cocok, akhirnya dua volunteeer memutuskan untuk bikin reuni sendiri di rumah Imron, dengan peserta 20 orang (minus 18 orang) dan kumpul keluarga, makan bakmi dan bermain dengan anak2.

untuk yang sedang ngumpul di JOGJA, SELAMAT berREUNI, Ngobrol2, rembugan2 dan crito2,
ditunggu kabar2nya


Imron dan Dana

Thursday, December 18, 2008

Monday, December 15, 2008

Friday, November 21, 2008

REUNI 2008


HASIL RAPAT ANGKATAN 93

7 November 2008

Rapat Angkatan 93 yang diselenggarakan pada tanggal 7 November 2008 telah menghasilkan beberapa hal:

  1. Akan diselenggarakan reuni angkatan 93 pada tanggal 28 Desember 2008 pukul 10.00 WIB sampai dengan selesai. Acara akan diselenggarakan di Desa Wisata Sambi. Bagi yang tidak tahu lokasi desa wisata Sambi panitia memfasilitasi berangkat bersama dengan berkumpul di Fakultas Kehutanan pukul 08.30 WIB. Rombongan akan diberangkatkan oleh Ketua Panitia.
  2. Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan reuni angkatan tersebut pada nomor 1, maka dibentuk panitia dengan susunan sebagai berikut:

Ketua : Tony Riyanto (Regol)

Sekretaris : Ari Susanti (Ari)

Bendahara : Slamet Riyanto (Slamet)

Akomodasi/ Transportasi : Heru Sutrisno (Lenthu), Edi Suprapto (Jampez),

Yulianto Nugroho (Kenyul)

Acara : M. Mirza Arzani (Cindil)

Publikasi / Dokumentasi : Purnomo Aji (Panjul), Yogi Kartiko (Si Oom)

  1. Untuk penyelenggaraan acara tersebut, sudah beberapa donator yang berkomitmen untuk menyumbang antara lain:

Elwan Wijatmoko (Gogor)

Aditya Bayunanda (Dito)

Mukti Aji (Pak Lurah)

Crew Perhutani

Crew Dephut

  1. Untuk kelancara sirkulasi keuangan, maka angkatan 93 telah membuka rekening di:

BANK MANDIRI CAB. UGM

a.n. SLAMET RIYANTO

No. Rek. 137 000 608 2 685

Notulis: Ari Susanti

Wednesday, June 25, 2008

Nonton Bareng di Jogja

sori belum sempat ngomentari
dibawah ada video kenampakannya








Monday, June 2, 2008

TOMO mantenan meneh?

foto kirimannya Jampez dulu waktu mantenane Tomo
biar menarik dikasih judul yang provokatif
Kaya foto tahun 70 an tho?
apa le nyimpen kejeron ya?





Sunday, June 1, 2008

Rombongan Mataram

by lurah mukti aji
Masih Seperti yang dulu, kata yang tepat untuk menggambarkan sosok ANDY "NANY" GUSTIANI ; fisik, gesture maupun ekspresinya. Tahun 2002 Nikah dengan BUDI, alumni IPB seangkatan kita juga hasil pertemuannya di Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Makassar. Baru satu tahun pindah ke Mataram dan udah punya 1 anak perempuan : DYNA 5 tahun. Kalo ada kontes pemilihan pasangan yang paling banyak intensitas bertemunya barangkali Nany lah juaranya karena praktis 24 jam selalu bersama, berangkat & pulang kantor bareng, di kantor satu bagian karena statusnya sama2 peneliti. Disatu sisi asyik karena ada nuansa pribadi di kantor, cuma ati2 nan, jangan sampe terbalik untuk aktifitas pribadi malah berasa rutinitas kantor.




DUWEK juga hampir sama, hanya rambutnya saja yang sekarang pendek. Distrik Manager Bali cabang Modern & Retail ini baru Januari lalu dipegangnya setelah sebelumnya di cabang Jabotabek. Anak 1 ATTAYA 3 tahun. Tony pasti masih ingat betul karena istri Duwek yang sekarang ini dulu anak kos yang menghuni rumahnya. Rupanya yang diperistri Duwek itu eks penghuni kamar 8, padahal yang dipacari sebelumnya berurutan dr kamar 1 -7 bahkan kadang2 diremiks. Gak sia-sia dadi tukang bukak-tutup Regol yo Ton?



Sunday, May 11, 2008

Hutan dan Keamanannya 6

by


Mukti"Manten" Aji


Kang jampez,

Aku tak niru model njenengan yo...

Kenapa kerja-kerja kita bisa dikalahkan oleh cukung-cukung ini. Kenapa kita tidak sikat cukung-cukung ini. Kenapa hokum selalu lemah tak berdaya ketidak berhadapan dengan mereka para cukong yang memiliki modal dan kekuasaan?

Salah satu sebabnya sudah dijawab sendiri di bagian awal tulsane Njenengan : Dan si provokator tidak merasa enggan untuk demi kepentingannya membagi-bagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan. Sebab yang lain sudah dikupas mas dede yaitu korban sistem, yang dalam hal ini adalah bahwa sistem hukum kita hanya mengenal Penyidik tunggal (Polisi), penuntut tunggal (Jaksa), dan Pengadil tunggal (Hakim). Pengecualiannya hanyalah KPK yang bisa tiga2 nya dilakukan. Seandainya diberi kewenangan kayak KPK saya yakin oknum Kades sudah dipenjarakan oleh Untoro, atau oknum Polisi oleh Elwan. Karena korban sistem maka yg terjadi ketika si provokator terhalang kepentingannya oleh forester dia berlindung dibelakang tiga unsur di atas atau tambah satu yaitu partai politik.

Selalu lemah tak berdaya karena ada celah tadi, jangankan elwan, saya yang hanya staf perencanaan di dishut, sinder untoros, Sekelas Kapolri saja tak berdaya menghadapi, A. RASID yang mantan anggota MPR jelas2 sudah diketok Tersangka dan DPO kasus tanjung puting. masih ”mengudara” kemudian berpindah warga negara di Singapura dan sekarang hari2 di Jakarta bahkan kantornya tak jauh dari aparat penegak hukum. Tapi minimal kita sudah tunjukan kebenaran. Celah itu jangan sampai ada di forester.

Terlalu sederhana untuk kemudian menyalahkan masyarakat, kenapa masyarakat yang sebenarnya sebagai korban selalu dipersalahkan. Pernahkan masyarkat jauh sebelum didatangkan para cukung yang dilegalkan (pemegang HPH) diajak bicara lebih dulu. Kenapa mereka slalu diajak bicara setelah pihak-pihak luar menyepakati rencana dan agenda yang akan dikenakan pada wilayah mereka. Dan Setelah itu kemudian mereka dikriminalkan, disalah, disebut leda-leda. Satu modus yang terjadi dimana saja dan selalu diulang-ulang.

Dalam konteks yang saya tulis kecewa dengan masyarakat, justru kasusnya (2 kasus yang sempat ikut) adalah ada konflik antara HPH (kalo yg ditanya pernahkah masyarakat diajak bicara sebelum HPH datang aku gak tau pez, wong kira2 waktu itu aku masih SMP) dan Masyarakat dimana satu pihak menuding merambah arealnya dan dipihak lain menuduh menebang hutan adat, lalu minta ganti rugi kalo gak dikasih bakar camp & alat berat.

Kita coba selesaikan dengan cara yang tidak lazim dan tidak ada di instrumen hukum yang berlaku (yang ada di aturan kita hanya benar – salah, dan yang salah dikenai sanksi). Istilah Anton ”win-win solution”. Kita yakinkan HPH, untuk melepas saja areal yang di sengketa, HPH sudah setuju. Kemudian musyawarah dengan masyarakat, kita persilahkan mereka sendiri yang menentukan batas hutan adat milik mereka (waktu itu padahal belum dikenal pemetaan partisipatif) dan akan kita gawangi proses legalitas statusnya, setelah internal masyarakat sepakat, dilakukan tata batas bersama. begitu tinggal proses sk tata batas definitif, ada ”invisible man” yang kembali merubah pola pikir warga sehingga kesepakatan batal.


Kalo memang penilaian njenengan adalah mereka jarang sekali menyadari bahwa segenap kebijakan dan metode yang diterapkan adalah sebuah tindakan politis, ya monggo saja, namun rasanya waktu itu sebatas yang saya sadari adalah murni mengambil inisiatif sebagai forester dengan sedikit bumbu semangat pemberdayaan.

Salahkah ketika mencoba untuk berpikir untuk mendapat lebih? Cari tahu kenapa mereka terlalu mudah diiming-imingi.

Susahnya karena ”kebenaran material” lebih dulu mensahkan itu sudah milik orang, sehingga ketika yang lain mengambil maka dikenakan pasal pencurian,perambaha n dll. Namun yang pasti ini jadi catatan untuk program2 pemberdayaan kita (baik di birokrasi, korporasi maupun NGO) bahwa barangkali tidak cukup hanya memfasilitasi cara, model, dan pola, namun juga membangun kesadaran dan penanaman nilai2.

Dua tahun belakangan saya lagi lebih fokus utk pemberdayaan aparatur dengan mengajak mereka melihat ”dunia lain” model pengelolaan hutan : PHBM di Perhutani mojokerto, Sertifikasi hutan rakyat di wonogiri dan gunung kidul, thn ini ke NTB ttg pengembangan gaharu rakyat, tahun depan ke PHBM Kolaboratif di Kuningan dan mungkin lampung berikutnya (yayasan Watala yo Pez?).


Masalah perombakan sistem, saya sepakat. Sistem pengelolaan hutan kita sejak awal dibangun berdasarkan 3 strategy : EKONOMI, EKOLOGI dan MASYARAKAT. Dan prinsip dasar dari system itu adalah :

1. Kebijakan (dan komitmen) lingkungan,

2. Perencanaan,

3. Penerapan dan Operasi,

4. Pemeriksaan dan tindakan koreksi,

5. Tinjauan manajemen, dan

6. Penyempurnaan menerus

Tinggal kita yang menentukan, sekarang kita diposisi mana dan apa yang dapat kita perbuat mau di review kebijakan, atau di tinjauan menajemen? tentunya dalam rangka penyempurnaan menerus


Suwun

Hutan dan Keamanannya 5

by

Edy Jampez


Menarik sekali diskusi teman-teman, mudah-mudahan bisa mencerahkan kita semua.

Saya salut kepada Untoro maupun Mandra yang masih bisa menahan untuk tidak meledakkan senjatanya. Memang mestinya seperti itu dan mudah-mudaha selalu seperti itu.

Untuk tidak terlalu menyederhanakan masalah marilah kita berpikir kenapa masyarakat begitu mudah diprovokasi? Menurut saya ada dua, satu yang memprovokasi memiliki uang ataupun sumber daya lain yang dibutuhkan masyarakat. Dan si provokator tidak merasa enggan untuk demi kepentingannya membagi-bagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan. Yang kedua orang mudah digerakkan karena sebenarnya secara kolektif mereka melihat ada satu pihak yang mereka sepakati sebagai musuh bersama. Musuh yang telah menyebabkan kondisi penderitaan mereka saat ini. Saya sepakat, hal ini tidak bisa hadir lewat proses dan sejarah yang panjang. Celaka memang kalau ternyata kedua hal tersebut hadir dan saling melengkapi. Jawane: Tumbu oleh TUTUP.

Dari mukti aji

Yang saya pahami dari beberapa kunci pelestarian hutan salah satunya adl Pengamanan Hutan, bahkan sejarah pengelolaan hutan di Jawa pada saat dipegang belanda kunci itu yang lebih diutamakan sampe2 orang bawa parang masuk hutan pun gak boleh. Kita semua mungkin sepakat bahwa biang keroknya sebenarnya adalah cukong busuk yang memanfaatkan kemiskinan dan kekurangan warga dalm hal penghidupan bahkan di Kalteng Cukong busuk ini rela membagi motor bebek dulu, kepada semua warga desa yang mau ikut nyarikan dia kayu.

Kenapa kerja-kerja kita bisa dikalahkan oleh cukung-cukung ini. Kenapa kita tidak sikat cukung-cukung ini. Kenapa hokum selalu lemah tak berdaya ketidak berhadapan dengan mereka para cukong yang memiliki modal dan kekuasaan, sebaliknya hokum , polisi hutan, seolah-olah berwajah garang dan tegas main “dor” ketika berhadapan dengan operator di lapangan yang istilah Mandra hidupnya “mengenaskan”?


Rakyat, masyarakat, warga sekitar hutan barangkali terlalu sederhana dalam berpikir untuk kemudian mengambil keputusan "ikut" dalam rombongan dengan iming2 materi, tetapi saya yakin bahwa mereka pun dengan sadar sudah tau akan resiko dan bahaya yang akan ditemui.

Masyarakat memang sangat sederhana, yang penting makan, kebutuhan pokok terpenuhi. Mereka tidak punya banyak pilihan, hanya itu peluang yang mereka bisa jangkau untuk sedikit mendapat surplus. Salahkah ketika mencoba untuk berpikir untuk mendapat lebih? Cari tahu kenapa mereka terlalu mudah diiming-imingi. Jangan-jangan kita yang slalu menyalahkan mereka juga tidak kalah sederhana?

Terlalu sederhana untuk kemudian menyalahkan masyarakat, kenapa masyarakat yang sebenarnya sebagai korban selalu dipersalahkan. Pernahkan masyarkat jauh sebelum didatangkan para cukung yang dilegalkan (pemegang HPH) diajak bicara lebih dulu. Kenapa mereka slalu diajak bicara setelah pihak-pihak luar menyepakati rencana dan agenda yang akan dikenakan pada wilayah mereka. Dan Setelah itu kemudian mereka dikriminalkan, disalah, disebut leda-leda. Satu modus yang terjadi dimana saja dan selalu diulang-ulang.

Baik untuk kita renungkan bersama sebuah pernyataan dari Nancy Peluso penulis buku Rich Fores Poor People:

Para akademisi kehutanan cenderung berpikir bahwa mereka adalah kaum professional yang netral, mengaplikasikan ilmu kehutanan semata-mata untuk kepentingan Negara dan bangsa; mereka jarang sekali menyadari bahwa segenap kebijakan dan metode yang diterapkan adalah sebuah tindakan politis

Salut kepada dede, yang mengajak kita untuk melihat persoalan ini dari perspektif historis,,, studi postcolonial po De? Cuman, tidak cukup tentunya hanya dengan menyalahkan dan memandang kita sebagai korban system. Seruannya adalah baik yang ada didalam birokrasi maupun di luar birokrasi marilah kita rombak system yang menurut dede adalah warisan colonial itu. Perubahan harus mendasar, jangan seperti menambal dinding gedek yang sudah kropos dengan poster cantik Dian Sastro. Bongkar sampai pada pondasi-pondasinya. Jangan serahkan tugas ini hanya pada salah satu kelompok, perguruan tinggi ataupun NGO tidak jauh lebih hebat dari teman-teman semua. Marilah kita kerjakan bersama, baik yang pernah belajar di fakultas kehutanan maupun yang tidak, baik yang IPB maupun UGM (wakakakakakkakakak k)!

Kumpulkan semua pengetahuan, cerita-cerita seperti yang mandra sampaikan terakhir, siapa tahu itu bisa menjadi material, pilar-pilar untuk membangun bangunan kehutanan yang menjamin keadilan dan kelestarian.

Salam

EJ

Friday, May 9, 2008

Hutan dan Keamanannya 4

By
Anton 'Mandra'

CONSERVATION AND DEVELOPMENT TRADE-OFFS IN TROPICAL LANDSCAPES - ARE THERE ANY WIN-WIN SITUATIONS?
Bruce Campbell, Director of Forests and Livelihoods program
Centre for International Forestry Research (CIFOR)

Agencies continue to perpetuate the myth that win-win situations for the environment and people are the norm. Without confronting the trade-offs it is unlikely that conservation and development will be achieved. Drawing on modelling techniques and multi-site comparisons, and through exploring market-based mechanisms, we examine whether the dream of conservation and development is possible.


Kemaren sempat datang pada seminarnya Pak Bruce ini…..

Aku percaya pada wacana yang diusung jaman awal2nya Arupa..
Bahwa manajemen hutan di Indonesia is SUCKS……. Something wrong there.


Di seminar itu dipaparkan beberapa modelling skenario mengenai konservasi. Yaitu:
-Anti-poaching
-Good governance option
-Good governance reality
-Direct investment development

Dalam pemaparannya beliau memakai beberapa contoh dari Afrika hingga Indonesia.
Dalam contoh scenario di Malinau, Indonesia, jika suatu hutan tempat dikonversi menjadi kebun kelapa sawit dalam jangka panjang (20an tahun) income di daerah tersebut akan naik hampir 20 kali lipat, sementara jika tetap dengan model kehidupan yang seperti saat ini, pendapatan hanya akan naik sekitar 3 kali lipat dalam kurun waktu yang sama.
Yang menjadi masalah saat kelapa sawit dikembang di tempat tersebut yang mayoritas orang asli, hal itu akan merubah demografi dan akan memiliki akibat pada pergeseran budaya yang akan semakin jauh dari kearifan lokal. Seiring arus migrasi yang muncul tekanan terhadap lingkungan juga akan menguat. Perubahan demografi ini disebabkan oleh masuknya pendatang untuk menjadi pengisi pada relung tenaga kerja.
Hasil akhir dari kelapa sawit jelas, peningkatan ekonomi tetapi juga degradasi lingkungan.



Beliau memaparkan bahwa anti-poaching juga tidak akan menyebabkan kelestarian itu terwujud, anti-poaching sendiri bisa dimaknai selain sebagai sebuah aktivitas counter-aktif terhadap perburuan/aktivitas illegal dengan pendekatan "kekerasan".
Tujuan win for forest tidak akan pernah menjadi nyata, bahkan kehilangan species-lah yang pasti muncul. Pendapat ini menurut saya benar, buktinya toh pendekatan2 penyelamatan satwa-satwa besar langka di Indonesia tidak juga kunjung berhasil dengan adanya pembentukan satuan paramiliter. Operasi2 di black market tidak juga menyurutkan praktek illegal trade untuk species2 dilindungi.

Ada satu kisah sukses di Namibia dimana konservasi berjalan dengan mulus dan kesejahteraan masyarakat juga meningkat tetapi ada satu catatan penting, yaitu jumlah penduduk rendah dan turis yang datang per tahun lebih dari 2juta orang. Turis2 tersebut datang untuk safari di alam Afrika, mereka datang oleh pesona eksotis satwaliar. Indonesia, jumlah penduduk yang sebegitu banyak.... ketidakpastian keamanan dengan isu2 terorisme dan bencana alam menjadi penghambat.. ...

Wacana carbon trade juga menjadi salah satu yang menarik dari masyarakat lokal saat opsi apakah kelapa sawit dengan dampak ikutan seperti yang dipaparkan di atas atau dengan manajemen lansekap yang peduli lingkungan.. ..


Gelontoran2 dana untuk konservasi jika tidak melibatkan masyarakat dan memperkuat kemandirian masyarakat juga tidak akan melahirkan "win-win solution", saat aliran dana terhenti kegiatan menghancurkan hutan juga akan marak kembali.


Dan bagaimana dengan pengelolaan di Indonesia?
Jika kontrak2 politik masih menjadi factor dominan dalam menyelenggarakan negara, kemakmuran yang seiring dengan ekosistem lingkungan yang terjaga sepertinya masih jauh, sangat jauh dari harapan.
Butuh keberanian berubah baik dari masyarakat dan juga penyelenggara negara dalam pengelolaan hutan di Indonesia.

Bacaan yang menarik.....

Will Forests Remain in the Face of Oil Palm Expansion? Simulating Change in Malinau, Indonesia.
Marieke Sandker, Center for International Forestry Research (CIFOR) Aritta Suwarno, Center for International Forestry Research (CIFOR) Bruce M Campbell, Charles Darwin University (CDU); Center for International Forestry Research (CIFOR)
Volume 12, No. 2, 2007 – Research

Conservation and development in tropical forest landscapes: a time to face the trade-offs?
T.C.H. SUNDERLAND, C. EHRINGHAUS and B.M. CAMPBELL
Environmental Conservation, Volume 34, Issue 04, Dec 2007, pp 276-279
doi: 10.1017/S0376892908 004438, Published online by Cambridge University Press 03 Mar 2008

Hutan dan Keamanannya 3

Oleh
Mukti 'Pak Manten' Aji

Yang saya pahami dari beberapa kunci pelestarian hutan salah satunya adl Pengamanan Hutan, bahkan sejarah pengelolaan hutan di Jawa pada saat dipegang belanda kunci itu yang lebih diutamakan sampe2 orang bawa parang masuk hutan pun gak boleh. Kita semua mungkin sepakat bahwa biang keroknya sebenarnya adalah cukong busuk yang memanfaatkan kemiskinan dan kekurangan warga dalm hal penghidupan bahkan di Kalteng Cukong busuk ini rela membagi motor bebek dulu, kepada semua warga desa yang mau ikut nyarikan dia kayu.

Rakyat, masyarakat, warga sekitar hutan barangkali terlalu sederhana dalam berpikir untuk kemudian mengambil keputusan "ikut" dalam rombongan dengan iming2 materi, tetapi saya yakin bahwa mereka pun dengan sadar sudah tau akan resiko dan bahaya yang akan ditemui.

Beberapa kesempatan ikut dalam tim penyelesaian sengeta batas desa dengan HPH sering saya juga kecewa dengan tidak konsistennya masyarakat sekitar desa, ketika kebenaran batas hampir terungkap mereka memilih keluar dari colaborasi penyelesaian sengketa. Bahkan pernah ketika kita mau meng-enclove kawasan desa mereka agar secara hukum dikeluarkan dari status areal HPH justru mereka yang kemudian menolak padahal ketika proses rekontruksi batas mereka setuju, yang ujung2nya diketahui lagi2 ada provokator desa (Prendes?) yang merasa akan kehilangan "pekerjaan"nya dan dapat mengeruk keuntungan atas nama desa, kalo itu di sahkan maka dia gak bisa lagi menuntut dan memeras dan memblow-up ke media bahwa HPH A telah menyerobot tanah adat mereka.

Salam

Hutan dan Keamanannya 2

by
ANton Mandra

Saya paham banget dengan cerita ini......
Pada satu masa saya memimpikan bawa AK47 saat di hutan....
Memang banyak orang yang "kelaparan" tetapi BAJINGANnya itu yang
menunggangi orang2 kelaparan ini....
Susah banget emang memasukkan para benggol itu dalam penjara, wong
benggol kelas cere aja bisa nyogok hakim puluhan juta..
Ada yang mengenaskan, salah satu kenek chainsaw ketangkep tangan, dia
punya anak satu masih kecil dan istrinya hamil tua....
Beberapa saat sebelum sang istri ini melahirkan, sang suami mati di
penjara.....
padahal rumah numpang, ndak punya kebun... tapi sang bos kayunya ya
masih lenggang kangkung dan bahkan nikah berkali2.... ...
Dulu di stasiun penelitian, sekitarnya banyak banget penebang liar, satu
kali kami sedang jalan terus mereka melihat kami...lari semua...chainsaw
kita ambillah wong ditinggal...
Beberapa hari kemudian belasan orang mabuk nyerbu stasiun penelitian
dengan golok terhunus (FYI, stasiun penelitian ini di tengah hutan 5km
dari kampung terdekat, kalaupun kami dibantai oleh mereka paling baru
akan ketahuan setelah satu minggu).
Cerita yang berkembang dimana2 bahkan sampai kota Tanjung Karang, kami
semena2 nyegatin orang yang jalan melintasi hutan dan menyita chainsaw
yang mau dipakai motong kayu di kebun...
Ada beberapa aktivis LSM begitu ketemu dengan kita langsung mencela dan
mengatakan kami sok jagoan etc......

Bukan bermaksud untuk mengatakan kesejahteraan buat rakyat melalui hutan
tidak mungkin...
BISA PASTI BISA...

Hutan dan Keamanannya


by
Untoro "Mantan Asper SALEM"

Pak EJ dan kawan-kawan yang lain...
terima kasih atas protes dan keprihatinannya terhadap penembakan di wilayah hutan. Tulisan saya ini bukan berarti membela teman2 Perhutani (krn saya memang karyawan Perhutani), dalam hal ini kami juga semua prihatin atas kejadian tersebut. Namun coba kita lebih arif dan tidak langsung menjustifikasi. coba bayangkan posisi kita sebagai petugas pada saat itu...
Sama dengan saudara Wawan chinmi yang pernah jadi sinder, saya pun pernah jadi sinder atau asper selama 2,5 tahun. Banyak pengalaman berhadapan dengan pencuri, menangkap dan didemo oleh warga, difitnah bahkan mungkin diguna2. Nah kali ini saya akan berbagi cerita. ini

TRUE STORY :
Suatu saat di tahun 2006, saya mendapat laporan warga atas adanya penebangan liar di wilayah kerjaku.seketika saya bersama mandor dan mengajak satpol PP langsung menuju titik sasaran yang berjarak sekitar 20 km. Benar di sana ada kurang lebih 40 orang sedang menebang pohon yang dikomandoi oleh oknum Kades. Kami hanya bertiga : Saya, anggota Satpol dan LMDH yang langsung berhadapan dengan orang yang membawa gergaji dan parang dengan muka beringas. Sementara para mandor berjaga di bawah. sempat agak terpikir dalam benakku : MATI AKU, ketika mereka langsung mengepung kami. Sebagai petugas saya tidak kalah gertak, saya panggil pimpinan rombongan dan kami perintahkan untuk turun dan membiarkan pohon yang sudah terlanjur ditebang (sebanyak 7 pohon Pinus). Meski saya memang bawa senjata, tapi akal sehat saya masih ada. Alhamdulillah 40 orang tersebut mau menuruti dan balik ke desa. Kami pun perintahkan mandor dan mantri untuk mengamankan kayu dan meletter tunggak yang ada.

Satu jam setelah kejadian, saya pun turun ke desa terdekat karena saya pikir sudah reda. Ternyata setelah berada di desa, warga kembali bergerak lagi dengan jumlah yang lebih besar, seingat saya ada 4 truk penuh orang. Usut punya usut ternyata mereka diprovokatori oleh seorang warga yang memang sering bikin masalah. Para mandor dan mantri kami yang sedang melaksanakan tugas langsung dihujani pukulan dan batu. Karena anak buah jadi bulan-bulanan massa maka saya pun jadi emosi, polsek saya kontak dan saya pun mempersiapkan senjata. Tapi beberapa tokoh masyarakat dan kapolsek mencegah saya. Kami pun hanya mengamati massa yang merusak hutan. Secara kedinasan saya lapor ke Polsek atas kejadian perusakan hutan dan penganiayaan. Namun kasus ini tidak diproses dan info yang saya peroleh rentetan sangat panjang sampai ke salah satu Parpol kuat.

Yang lebih menyakitkan lagi, BERITA yang berkembang dibalik faktanya bahwa Petugas Perhutani mengeroyok warga desa. Mungkin berita ini bisa lebih parah, kalau saat itu saya sempat meletuskan senjata. Bahkan mungkin angkatan 93 bisa kehilangan salah satu anggotanya.
Ini salah satu kejadian yang menimpa saya, bukan membela tapi ngudarasa untuk dapat direnungkan bersama :
1. Petugas itu tetap Manusia yang juga punya Rasa Capek, Tanggung Jawab profesi dan EMOSI yang mungkin sebagai bentuk pembelaan diri. Karena banyak juga petugas Perhutani yang mati dalam menjalankan tugas tapi tidak ada beritanya.
2. Kita lebih bijak dalam membaca dan mendudukkan sebuah berita/kabar, biarkan pihak berwajib yang menentukan.
3. Permasalahan sosial masyarakat desa hutan adalah tanggung jawab kita bersama, terlebih para rimbawan atau yang pernah menempuh pendidikan di Fak Kehutanan.
Mungkin Anton Budiono juga bisa cerita banyak tentang saya (karena saya jadi sinder di kelahirannya) , banyak penggergajian yang saya obrak - abrik, banyak warga yang demo ke kantor Perhutani dan beberapa oknum sudah masuk penjara bahkan karyawan Perhutani ada yang dikeluarkan. .. Ini sebuah resiko Profesi....
Sekali lagi terima kasih atas masukannya, kami pun sudah mulai berbenah dan Perlahan "drop the guns" terus dilaksanakan, saya yakin ke depan masyarakat kita akan sadar akan pentingnya hutan ini. SEMOGA...... ...

mari kita bangun dan pertahankan hutan kita ....


Wednesday, April 30, 2008

Ngumpul-Ngumpul di Riau

Di Pekanbaru kemaren dalam suatu kesemptan kita jumpa hesti dan kebetulan ada kawan kita 92 yang jadi panitia acara tersebut. Photo ( Davis dgn seragam Bapedaldanya, Hesti dan Mas Qomar'92 yang lebih senang disebut spesialis Forestry di Univ. Riau ).
Sayangnya wang Yurizal, Agus Widodo dan Supri tidak bisa datang, Saat ketemuan Wang lagi on the way menuju Pekanbaru.

Nafril

Wednesday, April 23, 2008

Beda seragam, beda pipi dan beda perut!

Liat deh foto-foto ini, dan jangan lupa amati lingkar perut dan pipi dari teman-teman kita.
siapa yang masih nggak jauh berbeda dengan dulu waktu masih mahasiswa?






hehehe...emen, saiki kanca2 pasti dah nggak culun2 deh..sila lihat foto 7 teman kita yang kumpul di Cafe Serambi, Manggala Wanabhakti, kemarin itu...Daryanto Katon, begitu nongol semua kita langsung bilang wah pangling..rompinya itu lho...dia ngakunya jualan obat di asuransi ramayana. Pengakuannya "pangkat kopral tapi gaji jenderal!".Dia sempat sewot dan tersipu malu ketika diingatkan kalau dulu pernah naksir berat pada ny. B tapi kemudian bertepuk sebelah tangan dan hanya bisa nyanyi lagu Kangen-nya Katon untuk mengobati gundah gulananya hatinya.....Zaenal Fanani sing pas liga okuler nafase gak entek2 karena dopping puluhan botol kratingdaeng, juga tambah ndut dengan ciri khas jenggotnya yang masih dipertahankan itu. Sekarang dia wakil LP3ES di Bangda Depdagri..Terus Pak Lurah Aji, dari dulu memang sudah punya bakat ndut,wong gaweane tura-turu wae pas PU. Pernah jadi manajer angkat besi/berat Kalteng jadi pastilah konsumsi makanannyapun minimal harus sama dengan atlet2 yg dibawanya, so nek kariere lancar dia bisa dadi kepala dinas plus ketua KONI Kalteng.Sing rada beda saiki brewok dan jenggote wae tambah kandel..... Wawan alias Chinmi, calon Dirut Perhutani tahun 2015 ini pasti dah tahu persis apa yg akan dilakukan ketika jadi Dirut Perhutani nantinya...katanya yang pertama akan dilakukan adalah menendang dan menyingkirkan sebanyak mungkin alumni ... yang bercokol di Perum untuk diganti dengan staf yang cuanntikk2 dan ganteng2,so dia siap memberi hadiah pasangan hidup bagi yang kepilih jadi raja dan ratu jomblo 93....

Hesti Rahayu,
ahli memadamkan api yg membakar hutan ini diprediksi juga akan menjadi pejabat teras Dephut di kelak kemudian hari...bayangkan saat ini aja dia sudah menjadi Kepala Seksi di kantornya. Tapi jangan dibayangkan Hesti yang Kutilang manis seperti dulu. Sekarang tambah manis dengan balutan jilbabnya ( Hes, Imbron pangling dan menatap tajam fotomu tuh. Dalam hatinya berkata " wah kalau jadinya begini aku dulu juga mau macari hesti.."..ekekekek ). Yang pasti dia sukses besar membuang dari hati dan pikirannya seorang iblis ( maksude heru iblis) sampai2 Wawan yg masih penasaran dengan lugunya bertanya " hes, piye sih carane nendang iblis??"....

Anton Budiono,saiki dadi bos sebuah konsultan sehingga harap maklum dialah yg punya lingkar perut dan berat badan paling besar...lihatlah di foto itu bagaimana cara dia menahan nafas untuk menyembunyikan perut buncitnya:-)
Nah, untuk polit biro jabotabek yang belum nampak tinggal Nana, Dito, dan Wulan, kapan2 diatur lagi kumpul2 maning ya..
Oh ya, wingi ada ide gimana nek sebelum inisiasi sing rada serius mulai (nggawe yayasan, koperasi, dll ) kita nganakke arisan dulu? kalau arisan kan bisa via online transaksine tuh, tinggal disepakati sapa dan dimana manajer-e wae, mungkin malah dah bisa dimulai bulan depan.
cheers,
yayan

Friday, April 11, 2008

Hutan dan Pembangunan Daerah 6

Iku durung mas..onok lanjutane... perawan = penake mergo isih rapet (tegakane) dan kadang masih melawan (local community-ne) ...

Memang..... Mas Lurah, luwih kroso maneh wong pusat sing nyambut gawene neng UPT-pusat di daerah.  (nggih to mas ableh?)....
Buanyaaak produk peraturan yang "harus" dilaksanakan. ....... lebih buanyaaak benturan dengan daerah kalo ingin meng-implementasika n....... angel mas.... 
Peraturan pusat.....mending isih diwoco..kadang2 ra payu...
Konsultasi = Koin, Susu lembut, sama nasi..... ujung2nya yang namanya konsultasi para juragan yo mung ngono kuwi.

Iku mas..sing tak rasakke kerjo neng UPT-nya BPK (PH) yang ngurusi peredaran has-hut... Sertifikasi (semoga sudah bukan angan2) tenaga penguji.... terbatas pada sertifikasi kemampuan teknis.... pinter-e koyongopo yen mentale uelek dadine yo mung entut.......
Ujung2nya kudu tilik neng Polda....mesakke. .turu neng mlester...adhem. ....

Mas Lurah, di ranah kerjaku.. ada yang namanya sertifikasi penguji hasil hutan... iku sing kaitane njenengan dadi saksi ahli (kebalikan mas....kami sering ahli saksi..ahline mung menyaksikan, hasile yo sayonara wae...). Konco2 partikelir yang  usahanya di peredaran has-hut kudu punya sertifikat itu (mas Suryo sido melu ra?) dengan diklat 15-35 hari tergantung kualifikasinya. Kemaren2 sih diklate tenanan, ra lulus yo ra lulus tenan... embuh saiki...

Juga untuk temen2 di pemda yang ngurusi peredaran has-hut... namanya pengawas penguji...ada diklatnya, macem2 sesuai has-hutnya. Tiap kali kadis mau menunjuk pengawas penguji untuk ditugaskan, harus ada rekomendasi dari UPT... rekomendasi jalan..... penunjukan tergantung upeti...piye jal......
Rekomendasi = rekane komentar malah dikiro ngendhas-edhasi. ...

Andum slamet.....suwun

Tony 'Regol'

Hutan dan Pembangunan Daerah 5

Pez, 5 ha kuwi diangan2 huehehe… Aku arep rabi wae bingung, apa iya tanah warisan sing sakcuplik kudu didol.
But, i will make a forest at least for my self…one day


Mempertahankan status hutan. Pada level bawah, status kadang (bahkan sering dibuktikan) tidak memberikan efek penghormatan dan kepedulian. Saban hari laporan yang mucul selalu menyinggung tentang perubahan lansekap. Baik oleh masyarakat atau pun oleh korporasi. Baik secara illegal atau dengan cara sebagaima bisa dibuat menjadi legal dalam kaca mata hukum.

Tentang tutupan hutan, banyak penelitian membuktikan bahwa masyarakat memiliki kearifan dalam mengelola lingkungan. Tetapi, bukannya didukung malahan seringkali rakyat diposisikan pada posisi yang kalah dan salah. 
Seperti hutan jati rakyat yang dibenturkan dengan peraturan pemanfaatan jatinya. Cendana yang juga terbentur dengan peraturan daerah. Damar, diembat oleh ORBA dengan program transmigrasinya dan ancaman kelapa sawit. Kemenyan di Sumatra Barat diganyang oleh industri pulp. Tengkawang diserobot oleh kelapa sawit.
Saban hari konflik2 seperti itulah yang muncul.
Hal ini membuat resistensi masyarakat terhadap sesuatu yang berbau "pemerintah" dan "seragam" menebal. Hingga program2 GNRHL pun menjadi mentah.
Tetapi kemudian jika tuding2an salah siapa, persoalannya gak akan pernah selesai.
Masyarakat pedalaman hampir2 takpernah mendapatkan pengakuan hukum terhadap kepastian (STATUS) tanah mereka, sementara pemerintah selalu bilang pada orang2 yang masuk ke kawasan lindung sebagai perambah.
Pengelolaan kawasan berbasis manajemen terpadu hampir takpernah berhasil. Walau pada satu titik tertentu menunjukkan harapan. Sayangnya program2 semacam umumnya ini diinisiasi oleh NGO yang memiliki banyak keterbatasan dan pemerintah (departemen kehutanan , BPN, DPR dan lain2 ) jalan sendiri-sendiri dengan agenda masing2 yang seringakli kental dengan nuansa KKN. Dalam program2 semacam ini NGO menjadi sapi perahan. Pengelola dan juga DPR seringkali mempertanyaan "kesejahteraan" mereka, bukannya saling berbagi sebatas dengan kemampuan masing2. Padahal jika tidak terlalu rakus sebenarnya pasti ada anggaran untuk alat, transportasi, dan uang saku. Tetapi pada prakteknya ketika tuntutan2 yang tidak masuk akal (seperti meminta uang saku yang lebih besar dari gaji para staf NGO) tidak terpenuhi yang dilakukan adalah sabotase terhadap program.
Ada masalah mentalitas pada diri kita"kaum rimbawan".
Kedua hal, status dan juga tutupan sama pentingnya.

Masalah konsumsi per kapita
 memang bisa jadi mendasar dan perlu diperhatikan.
Dari penelitianku kemaren. Justru para migrant dari JAWA yang memiliki tanah lebih dari 5 ha lah yang pengin terus ekspansi ngembat hutan. Masyarakat asli cukup dengan 1-3 ha, karena itu yang mampu digarap oleh satu keluarga dan sudah mencukupi bahkan buat bayar sekolah.
Banyak cerita2 sedih kaum marjinal yang dipermainkan oleh tuan tanah tuan tanah kecil. Yang ujung2nya mendorong mereka untuk tidak lagi mempertimbangkan status tanah apakah itu hutan lindung atau bukan dengan masuk dan menjadi perambah.

Kesediaan masyarakat membangun lingkungan yang baik, dataku mengatakan masyarakat mau dan ingin melindungi satwa2 tertentu sebagian besar bukan karena HUKUM mengaturnya, tetapi dari manfaat dan interaksi antara mereka. Ketika satwa itu HAMA, mereka gak akan mau mendukung untuk dilindungi. Artinya ketika aku berasumsi bahwa kita mau membenahi keadaan dengan salah satunya menunjukkan kepada masyarakat nilai atau benefit dari adanya tutupan lahan berupa "hutan" aku yakin mereka akan riang gembira berlomba-lomba menjaga tutupan hutan.

Artinya tinggal bagaimana kita mampu mendukung suasana seperti itu. Tingkat kekritisan kita terhadap peraturan yang diusulkan ataupun kebijakan yang akan diputuskan bisa menjadi langkah awal. Gerakan frontal dan halus bagiku sama saja. NGO dengan pemboikotan atau lobi-lobi dalam ruang diskusi sama baiknya. Kemandirian pemikir2 kampus sepertinya harus direvitalisasi. Tawar2an penelitian untuk mengukuhkan eksistensi HPH atau program2 atau kebijakan2 yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat sedapat mungkin dikurangi. Selain itu pula memang tidak dipungkiri bahwa beberapa NGO hanya sekelompok orang yang tidak diterima dan bisa masuk ke dalam ruang2 yang lebih "mapan". Jadi NGO bukan sebuah pilihan yang didasari oleh prinsip, idelisme dan pilihan hidup.

Saat ini dari penelitianku kemaren sedang berjalan program implementasi untuk menguatkan masyarakat bahwa pilihan untuk menjaga dan melindungi tanaman damar adalah sebuah pilihan yang bijak, demi masa depan kawasan tersebut.

Bagiku, ruang di sini adalah ruang bebas dimana kita bisa saling dukung dan memberi masukan untuk melangkah dengan semakin baik. 

Pez, port wine aja berliter2 bahkan kemaren sempat beli Italian red wine, males ah ngebir kurang anget di badan.

SALAM,
Anton 'Mandra'
ngetikthesis mode on


Hutan dan Pembangunan Daerah 4

Ndra, sekaline jampez ki syarate ben ide ne bagus lan nulise dadi apik ono rahasiane to... Ngebir ha..ha... 

Aku setuju Pez, kekuatan modal yang ada di sekitar kita memang luar biasa kuatnya dengan indikasi seperti yang njenengan contohkan itu,  indikasinya juga kuat sekali : group2 besar pertambangan dan perkebunan sawit selalu bermain dibelakang. Konteksnya Nana kemarin kan RTRWP, jadi bicaranya emang pada status kawasan dulu. Tempatku sekarang termasuk dalam 1 dari 3 Provinsi yang RTRWP nya belum disetujui karena faktor utamanya ya kepentingan pemilik modal tadi. Bayangkan : Instansi kita masuk dalam Pokja RTRWP, namun secara riil kita seperti sendirian berada dipihak yang berseberangan dengan seluruh unsur yang ada, bahkan sampai pas pembahasan ke Jakarta kita berangkat sendiri dan cari penginapan sendiri sementara mereka (Dewan, Dinas Tambang & Dinas Kebun) fasilitas dan akomodasinya boleh dibilang di bintang 5 semua). Mesipun saya tidak terkena langsung tapi kalo ancaman dan gertakan sudah gak terhitung, kita dituding "lha yang gaji kan Gubernur kenapa malah membela kepentingan pusat?" sampe "Dasar orang Jawa cuma cari makan aja disini aja koq" pernah terlontar (untung bolo-boloku cah '93 gak ono, nek ono lha mesti wis dadi tawuran etnis ha..ha.. dan padahal aku kan gak cuma cari makan disini, yang kucari hanyalah sesuap nasi dan sesendok berlian )

Otonomi daerah juga menambah panjang dafar sebab, karena dengan otda, daerah dipacu untuk sebesar-besarnya punya PAD. Ibarat di roman dan sinetron picisan yang melakukan pembenaran terhadap maaf...pelacur karena sudah ndak punya modal & ketrampilan apa2 untuk dijual, maka satu itu aja yang bisa untuk modal bertahan hidup. Sama dengan kita, dari 14 kabupaten yang ada, hanya SDA aja yang dipunyai jadi ya .. Konversi hutan buat tambang apalagi kebun memang lebih menjanjikan untuk dapat PAD lebih besar dari pada kehutanan.

Masalah penutupan lahan juga betul pez, banyak pejabat bahkan sampe perguruan tinggi mempertanyakan lha wong kenyataan di lapangan hanyalah alang-alang koq masih diklasifikasikan sebagai hutan, mau dimanfaatkan aja susahnya minta ampun sampe ijin pelepasan kawasan ke Menteri Kehutanan segala. dan Ijin pelepasan ini yang sering dijadikan stigma bahwa Kehutanan itu Arogan.

Untuk DAK-DR dan Reboisasi kelemahan kita memang base-on nya pada proyek jadi ya..banyak gagalnya bahkan banyak sekali pengelola DAK-DR kita udah masuk Bui. Yang agak sulit implementasinya karena parameter aturannya seringkali JAWA sebagai parameter seperti kelompok tani (disini mana ada kelompok tani yang secara riil ada di masy. paling2 juga bentukan dadakan sebagai persyaratan administratif) belum lagi standar upah dan biaya keg. apalagi LSM pendamping aduh...miris banget kalo kita liat, gak ada sifat fasilitatornya dan gak punya semangat pemberdayaan sama sekali. Guyonan kita disini bahwa ternyata ORANG HUTAN lebih pintar dari ORANG KEHUTANAN dalam urusan reboisasi, karena orang hutan hanya dengan fesesnya sudah bisa membantu merubah biji yang dimakan ketika dikeluarkan bisa tumbuh jadi tanaman, belum lagi kalo pake tangan dan kakinya he..he..

Tapi seperti kata yogi dan Anton, Rimbawan itu sikap mental jadi ya kita tetap optimis dan berkarya, sekecil dan seremeh apapun "Ruh" rimbawan masih melekat. Kalo definisi Rimbawannya Tony ya... monggo... Ki Lurah Mboten Nderek...

Suwun
Mukti 'Pak Manten Lurah' Aji

Hutan dan Pembangunan Daerah 3

Persoalan konversi kawasan hutan seperti kasus  Pulau Bitan bukanlah yang pertama terjadi.  Begitu juga dengan susahnya instansi kehutanan di daerah untuk tetap mempertahankan hutannya bukanlah berita baru. 

Buat Mukti Aji: mempertahankan 60% “satutus” kawasan hutan memang penting, tapi menurut saya tidak kalah penting adalah mempertahankan tutupan hutan.  Di jawa misalnya, sampai kapanpun dan sudah berlangsung bertahun-tahun daratan yang berstatus hutan tidak pernah dan tidak akan kurang dari 2,9 juta ha.  (Teman-teman di Perhutani pasti punya data yang lebih baik).

 

Tetapi apakah kalau yang kita jumpai hanyalah tanaman jati yang berdiameter kurang dari 5 cm dan tinggi 3 meter dapat dikatakan sebagai hutan? Bahkan ketika di sekitar kampus getas tanaman jatinya masih besar-besar, teman-teman kita mahasiswa dari Kalimantan pun berkomentar: wah ini sih bukan hutan, ini adalah kebun. (mandra pasti ingat keributan kecil di getas pada kala itu?)

 

Sebaliknya di gunung kidul, tanah dengan status hutan tidak banyak justru para penduduk (petani) menanami tanah pertanian dan pekarangan miliknya dengan tanaman hutan. Maka jadilah hutan  yang jauh lebih hutan dibandingkan tanah-tanah yang berstatus hutan. Ndra,,,tanahmu yang 5 ha sudah ditanami belum?

 

Sedikit berbeda dengan Nana yang menyoroti lahan hutan yang kini  dijadikan komoditas perdagangan setelah kayu ndak bisa lagi andalin, saya justru melihat ini sebagai bukti bahwa masalah pelestarian hutan, bukan semata-mata hanya persoalan  teknis kehutanan. Ada persoalan-persoalan politis di balik itu semua yang justru jarang sekali (bisa) dirambah atau justru malah dihindari oleh mereka yang rimbawan. 

 

Masih jelas dalam ingatan ketika Megawati menerbitkan Perpu No 1 tahun 2004 tentang Perubahan UU no. 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Perpu tersebut diterbitkan oleh pemerintah untuk memberikan kepastian hukum bagi ijin pertambangan di kawasan hutan lindung yang sudah terbit ijinnya sejak masa pemerintahan Soeharto.   

 

Bagi yang selalu berpikir tentang kelesetarian hutan (konservasionis) , tentu hal tersebut merupakan suatu keganjilan. Bukannya mencabut ijin ke 13 perusahaan tambang tersebut, tetapi pemerintah justru merubah UU yang dibuatnya.

 

Selain menuai protes dari para aktivis lingkungan dan akademisi, pada mulanya sebagian anggota dewan juga menolak Perpu tersebut. Namun dalam perkembangannya DPR justru mengesahkan  Perpu tersebut menjadi Undang-undang.

 

Bisa jadi benar apa kata SLANK, ….. ujung-ujunganya duit.

 

Begitu juga halnya dengan terbitnya PP no 2 tahun 2008 yang mengatur  tentang tarif dan jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan. Menurut beberapa sumber, sebelum PP tersebut ditetapkan sekitar 80-an ijin tambang di kawasan lindung sudah masuk ke DPR. Belum lagi termasuk usulan alih fungsi hutan  untuk perkantoran pemerintah daerah, perkebunan sawit dan pusat perekonomian lainnya.  

 

Dari kedua contoh kasus di atas ada sinyalemen bahwa pihak-pihak yang berkepentingan dan ingin meraup keuntungan bisa jadi oknum pemerintah daerah, perusahaan pertambangan, perkebunan, dll menggunakan kekuatan modalnya untuk mempengaruhi tidak hanya pemerintah tetapi juga wakil-wakil rakyat di senayan.  Pertanyaannya kemudian dalam kondisi carut marut seperti ini dimanakah para sarjana kehutanan yang sering disebut dan mengaku Rimbawan walau belum sampai menato jidatnya  berada? 

 

Jika menilik pada kasus Bitan, ternyata alih fungsi hutan lindung tersebut juga berdasar pada rekomendasi Tim INDEPENDEN yang dibentuk oleh Menhut (……..mungkin ini yang dibilang Nana sebagai Bos). Silakan klik ….

http://www.detiknew s.com/indexfr. php?url=http: //www.detiknews. com/index. php/detik. read/tahun/ 2008/bulan/ 04/tgl/10/ time/125854/ idnews/921379/ idkanal/10

 

Saya berbeda dengan Mukti Aji yang melihat persoalan utamanya adalah laju pertumbuhan penduduk yang pesat  dan pemerintah yang tidak siap dengan payung hukum mengenai pengelola SDA.  Sepertinya hal itu hampir tidak terbantahkan, tetapi menurut saya ada factor lain yang justru lebih berpengaruh dibandingkan laju pertambahan penduduk yaitu tingkat konsumsi per kapita.

 

Misalnya untuk kertas, pernahkah kita mencoba menghitung berapa konsumsi  kita selama setahun? Menurut perhitungan seorang teman, konsumsi kertas per angkatan kerja (pegawai)Indonesia  pada tahun 2006 adalah 55 kg yang setara dengan 0,7 – 1 pohon pertahun. Artinya setiap tahunnya di seluruh Indonesiasetidaknya 90 – 100 juta pohon ditebang untuk kebutuhan kertas. Berapa hektar hutan itu? Mudah2an HTI bisa diandalkan!! !!!!!

 

Saya bisa pastikan tingkat konsumsi kertas penduduk kota jauh lebih besar dibandingkan penduduk di daerah disekitar hutan. Jadi apalah artinya di sisi lain kita selalu bilang lestarikan hutan, tetapi kita tidak bisa dan mau menurunkan konsumsi kita.

 

Di tingkat global, hal serupa yang disampaikan oleh Mukti Aji ini sering digunakan oleh Negara-negara maju seperti amerika. Bukannya merubah kebijakan mereka yang merusak lingkungan, negara2 maju justru semakin kuat dalam menyalahkan negara-negara berkembang seperti Indonesia yang telah gagal mempertahankan lingkungan alamnya sebagai akibat dari kegagalan menekan pertambahan penduduknya.  

 

Berkaitan dengan gontok2an antar departemen saya melihatnya bukan pada tidak adanya payung hukum tentang PSDA tetapi justru terletak pada ketidak konsistenan pemerintah dalam menjalankan undang-undang yang sudah ada.  Bagaimana UU no 41 direvisi jelas sekali menunjukkan hal tersebut.  Catatan sejarah keleda-ledean kita dalam menjalankan undang-undang saya rasa sudah terlalu panjang. Pada jaman Soekarno kita punya UU Agraria dan mencoba menasionalisasi perusahaan-perusaha an Eropa tetapi semuanya berakhir ketika Soeharto berkuasa. Melalui UU penanaman modal, Orde baru banyak mengundang dan mengijinkan perusahaan2 asing beroperasi di Indonesia. Begitu juga dengan UU Pokok Kehutanan no 5 tahun 67 dibuat bukan dalam rangka untuk menyelamatkan hutan tetapi semata-mata untuk menyelamatkan investasi.  

 

Dengan perpolitikan yang konspiratif seperti saat ini, usulan untuk merubah atau menyusun undang-undang baru bisa jadi akan dimanfaatkan oleh sekelompok elit maupun pengusaha untuk kepentingannya sendiri.

 

Udah dulu ah,,, capek. nDro,, sini temani aku ngebir!!!!!! !!


Edi ' Jampez' Suprapto

Thursday, April 10, 2008

Daryanto Katon tenan dan Bayu Bay-bay

sejak dulu, teman kita yang satu ini memimpikan jadi Katon, eeh kesampaian juga foto sama real Katon

Bayu, si pengusaha Primagama-jane wedi tho kuwi yu?

Hutan dan Pembangunan Daerah 2

Apalagi kita yang di daerah mbak desti, untuk mempertahakan 60 % status kawasan hutan di Kalteng itu beratnya bukan main dan kita berhadapan dengan kekuatan ekonomi hampir di semua sektor (di Kalteng hanya Departemen Agama aja yang gak ngurusin Kayu). Kita dituding tidak pro pembangunan dan kemajuan daerah, celakanya kekuatan ekonomi itu sering berlindung di balik pejabat tinggi dan anggota dewan, sehingga kita sering dapat ancaman dari yang bersangkutan : mulai dr mau dilaporkan ke Gubernur karena tdk mendukung kebijakannya sampai ancaman dipindah ke daerah terpencil.

Persoalan utama sebenarnya pada laju jumlah penduduk kita yang pesat sehingga tekanan terhadap SDA otomatis meningkat. Celakanya pemerintah kita tidak siap dengan payung hukumnya sehingga UU pengelolaan SDA yang ada juga masih sektoral : Kehutanan pake UU 41, Pertambangan & perkebunan juga pake UU sendiri so  jelas mentok2nya mereka pasti pada  status kawasan yang sudah didefinisikan  hutan, coba kalo ada payung besar UU Pengelolaan SDA kan bisa integral melihatnya sehingga  tidak ada lagi gontok2an antar departemen yang semuanya mengatakan demi kemajuan dan pembangunan.

Mukti 'Lurah' Aji 

Wednesday, April 9, 2008

Hutan dan Pembangunan Daerah

Halo everybody... .
Dah denger anggota DPR ketangkep KPK sdg bertransaksi perubahan status lahan hutan lindung di utk dijadikan kota bintan? sedih ya, sekarang kayu dah ngak bisa diandelin, giliran lahan hutan mau dijadikan komoditas perdagangan bagi kepentingan segelintir orang. Sampai kapan maubegini terus kondisi kehutanan kita? Waktu kami mahasiswa S2 jurusan perencanaan wilayah ITB diundang ke Kabupaten Musi Banyuasin tagl 7-16 Maret 2008, kami dihadapkan pada persoalan perubahan rencana tata ruang wilayah (RTRW) kabupaten yang dihadang dengan lagi-lagi kawasan hutan.saya sebagai orang dephut pusat dan terlebih baplanseperti ditodong dengan pertanyaan dari kabupaten Why, dephut seakan2 menghambat pemabngunan daerah dengan tetap mempertahankan wialayh hutan yang notabene sudah tidah berwujud hutan lagiu but alang-alang. Wah....saya masih punya bos di mangggala yang berhak menjawab itu.tapi merekamana mau tahu. tahunya saya kan baplan, ngurusijn wilayah hutan. capek deh.....harusnya kawasan hutan kalo emang mau dipertahankan sebagai kawasan hutan ya mbok diwujudkan hutannya.but, GNRHL belum adahasilnya ya?
 
Destiana "Nana" Kadarsih

Rimbawan lagi!

MERDEKA!!!!! !

Menggagas kata "rimbawan" bisa serius atau sambil lalu, dari gojek kere sampai diskusi keras balang-balangan kursi.:-?

Mohon baca:
http://www.bernas. co.id/news/ CyberNas/ /4922.htm
Bapak Sambas di koran bernas tersebut pada link di atas,
Menekankan pentingnya peran "rimbawan" dalam mengelola hutan berbasis ekosistem.
Artinya peran serta rimbawan bukan pada satu titik tertentu, yaitu "tinggal" di hutan. Ini sebuah gambaran dari email Om Yogi terdahulu.
Ttg WJS Purwodarmintonya manut aja deh, secara males ke perpus buat liat.

Asal kata rimba+wan(atau wati juga boleh lah...:D).

rim·ba n hutan lebat (yg luas dng pohon yg besar-besar) : hilang tidak tentu -- nya, hilang lenyap tanpa meninggalkan kesan atau jejak; 
-- beton daerah (kota) yg penuh dng bangunan bertingkat: pada akhir abad ke-20 ini Jakarta akan menjadi -- beton; -- raya hutan yg amat besar; 
me·rim·ba v 1 menjadi spt rimba: ladangnya sudah ~; 2 pergi atau bekerja di rimba: setiap hari ia ~ mencari kayu bakar; 
pe·rim·ba n orang yg mencari nafkah di rimba: perkelahian seru antara ~ dng harimau

rim·ba·wan n 1 ahli kehutanan; 2 pencinta hutan
Kedua kata tersebut bersumber dari:
http://pusatbahasa. diknas.go. id/kbbi/index. php

Tentang batasan rimba/hutan secara keilmuan rasa-rasanya cukup bisa diwakili oleh kamus itu dalam bahasan sekarang ini. Walau ada penjelasan yang lebih mendalam terlebih mengenai syarat2 sebuah kawasan bisa disebut hutan atau rimba (jadi ingat Ekologi Hutan I).

Sepakat dengan Om Yogi bahwa konyol jika rimbawan adalah "tarzan". Sepakat lagi pada Om Yogi bahwa rimbawan adalah "tjap" bagi yang ikut (atau ikut2an) ngurusin hutan entah outcomenya apa. Seperti yang diungkapkan salah satu guru besar kita tadi bahwa pengelolaan hutan sekarang berbasis ekosistem.

Tentang romantisme, ada yang ingat di perpustakaan kehutanan ada buku bulukan tulisan jaman baheula dari seorang bos wassen di hutan jati jawa. Dia seorang penjaga hutan, tunggangan sehari2nya kuda, dengan pistol dan senapan. Bisa dilihat juga di Manggala, pakaian seorang "jagawana" pada jaman itu dengan pelana kudanya kalau ndak salah. Apakah romantisme menunggangi kuda, topi kulit pistol dan bedil masih relevan?.
Kata rimbawan berkesan megah gagah..... tidak takut keluar masuk hutan mengarungi sungai banjir tidur berselimut embun diiringi orkestra serangga bertusuk gigi bulu landak. Seperti Indiana Jones yang bergulat dengan artefak2 kuno. Apakah kegagahan dan nama besar yang kemudian dicari dalam nama rimbawan?.

Batasan dalam kamus besar bahasa indonesia, menarik sekali karena dalam kamus tersebut (link di atas) menyebutkan tentang adanya perimba, orang mencari nafkah di hutan.
Pergeseran budaya dan kemajuan mungkin bisa digunakan sebagai landasan logika berpikir bahwa mencari nafkah di rimba bukan lagi para peramu, pemburu. Sehingga bagi saya semua orang yang bekerja dalam sektor kehutanan belom tentu rimbawan (yang secara gambang ditulis dalam kamus itu sebagai ahli kehutanan dan pecinta hutan).Tetapi perimba bisa juga menjadi seorangrimbawan, jika memiliki nilai "ahli" (pada taraf tertentu) tentang hutan dan juga mencintai hutan. Jika dibalik, apakah rimbawan bisa menjadi perimba, bagi saya sangat mungkin ketika ke"achli"an tentang hutan tadi telah dilupakan dan kecintaan terhadap hutan telah luntur. Jadi semangatnya adalah semangat "mencari" nafkah doang.

Hutan saat ini
, jika kemudian nilai yang mendasari pemanfaatannya adalah "cuma" finansial semata-mata, bukan kemudian seperti yang tertera dalam uang logam Rp 100 jaman lalu (hutan untuk kesejahteraan) . Artinya semata-mata nguntal kayu demi kekayaan segelintir orang saja. Maka sah-sah saja (bagi saya) menyebutnya sebagai perimba. Yang jelas berbeda dengan rimbawan.

Sehingga (sekali lagi) bagi saya kesimpulan bahwa; rimbawan itu adalah sikap mental (menurutku yang bukan rimbawan). Bukan karena ijazah, tapi karena pikiran, perhatian, dan dedikasinya untuk perbaikan dan pembangunan hutan Indonesia (Kartiko, 2008) adalah TJOTJOK.

Nilai-nilai yang ada didalam diri itulah yang menunjukkan apakah dia rimbawan atau bukan. Para pemikir di LIPI (atau mana saja), para penggagas nasib rakyat di DPR bisa jadi seorang rimbawan yang baik walau  mungkin tidak pernah masuk ke hutan tetapi mereka mencurahkan energi bagi  perbaikan dan pembangunan hutan Indonesia. Dan orang yang memiliki dasar keilmuan kehutanan belum tentu seorang rimbawan ketika nilai yang di"usung" dalam kesehariannya adalah "rupiah".

Menggunakan "Tjap" rimbawan, menstempel kening kita dengan kata "rimbawan" pada akhirnya adalah sebuah pilihan. Yang mau memakai tjap itu tentunya harus menyadari batasan dan "beban moral" atau pun social obligation yang terbawa dalam kata rimbawan tersebut.
Dan memilih menjadi perimba adalah sah hukumnya walau mungkin akhirnya (pada kasus-kasus terntentu) akan berhadapan dengan sang Rimbawan.
Selamat memilih untuk mentattoo kening atau lengan dengan kata rimbawan.... ..
Yang jelas rimbawan ada di hati dan otak.


aku sendiri lebih suka menyebut diriku pengelana rimba
Yang tidak memiliki Jane tetapi Lily.

Salam,
Anton Mandra

Monday, April 7, 2008

ANGKATAN '93 DALAM ANGKA

Berdasarkan data dari database, info dan ingatan pribadi, serta berita-berita dari milist selama hampir 3 minggu, berikut ini akan dipersembahkan profil angkatan 93 dari penggolongan jurusan, domisili tempat kerja, dan pekerjaan.
Berdasarkan penjurusan (populasi 86 orang), Manajemen Hutan (52 %) paling banyak dimasuki sedangkan Teknologi Hasil Hutan (10%) paling sedikit mahasiwanya.

Berdasarkan sebaran tempat tinggal/kerja (populasi adalah 74 orang), kebanyakan bertempat tinggal di pulau Jawa (70.2 %), dimana sekitar 54 % berdomisili di Jawa Tengah-Jogja.

Berdasarkan spesifikasi pekerjaan, persentase cukup berimbang antara mereka yang menjadi PNS dan bukan PNS. Dari mereka yang PNS, 94 % bekerja di bidang kehutanan sedangkan dari yang Non-PNS sebanyak 45 % bekerja di sektor kehutanan.

Selanjutnya, dari keseluruhan populasi, sekitar 72 % bekerja di bidang kehutanan, yang mana paling banyak berkiprah di Dephut (26 %).

by Ganis