Nafril
Wednesday, April 30, 2008
Ngumpul-Ngumpul di Riau
Nafril
Wednesday, April 23, 2008
Beda seragam, beda pipi dan beda perut!
Hesti Rahayu,ahli memadamkan api yg membakar hutan ini diprediksi juga akan menjadi pejabat teras Dephut di kelak kemudian hari...bayangkan saat ini aja dia sudah menjadi Kepala Seksi di kantornya. Tapi jangan dibayangkan Hesti yang Kutilang manis seperti dulu. Sekarang tambah manis dengan balutan jilbabnya ( Hes, Imbron pangling dan menatap tajam fotomu tuh. Dalam hatinya berkata " wah kalau jadinya begini aku dulu juga mau macari hesti.."..ekekekek ). Yang pasti dia sukses besar membuang dari hati dan pikirannya seorang iblis ( maksude heru iblis) sampai2 Wawan yg masih penasaran dengan lugunya bertanya " hes, piye sih carane nendang iblis??"....
Anton Budiono,saiki dadi bos sebuah konsultan sehingga harap maklum dialah yg punya lingkar perut dan berat badan paling besar...lihatlah di foto itu bagaimana cara dia menahan nafas untuk menyembunyikan perut buncitnya:-)
Nah, untuk polit biro jabotabek yang belum nampak tinggal Nana, Dito, dan Wulan, kapan2 diatur lagi kumpul2 maning ya..
Friday, April 11, 2008
Hutan dan Pembangunan Daerah 6
Memang..... Mas Lurah, luwih kroso maneh wong pusat sing nyambut gawene neng UPT-pusat di daerah. (nggih to mas ableh?)....
Buanyaaak produk peraturan yang "harus" dilaksanakan. ....... lebih buanyaaak benturan dengan daerah kalo ingin meng-implementasika n....... angel mas....
Peraturan pusat.....mending isih diwoco..kadang2 ra payu...
Konsultasi = Koin, Susu lembut, sama nasi..... ujung2nya yang namanya konsultasi para juragan yo mung ngono kuwi.
Iku mas..sing tak rasakke kerjo neng UPT-nya BPK (PH) yang ngurusi peredaran has-hut... Sertifikasi (semoga sudah bukan angan2) tenaga penguji.... terbatas pada sertifikasi kemampuan teknis.... pinter-e koyongopo yen mentale uelek dadine yo mung entut.......
Ujung2nya kudu tilik neng Polda....mesakke. .turu neng mlester...adhem. ....
Mas Lurah, di ranah kerjaku.. ada yang namanya sertifikasi penguji hasil hutan... iku sing kaitane njenengan dadi saksi ahli (kebalikan mas....kami sering ahli saksi..ahline mung menyaksikan, hasile yo sayonara wae...). Konco2 partikelir yang usahanya di peredaran has-hut kudu punya sertifikat itu (mas Suryo sido melu ra?) dengan diklat 15-35 hari tergantung kualifikasinya. Kemaren2 sih diklate tenanan, ra lulus yo ra lulus tenan... embuh saiki...
Juga untuk temen2 di pemda yang ngurusi peredaran has-hut... namanya pengawas penguji...ada diklatnya, macem2 sesuai has-hutnya. Tiap kali kadis mau menunjuk pengawas penguji untuk ditugaskan, harus ada rekomendasi dari UPT... rekomendasi jalan..... penunjukan tergantung upeti...piye jal......
Rekomendasi = rekane komentar malah dikiro ngendhas-edhasi. ...
Andum slamet.....suwun
Hutan dan Pembangunan Daerah 5
But, i will make a forest at least for my self…one day
Mempertahankan status hutan. Pada level bawah, status kadang (bahkan sering dibuktikan) tidak memberikan efek penghormatan dan kepedulian. Saban hari laporan yang mucul selalu menyinggung tentang perubahan lansekap. Baik oleh masyarakat atau pun oleh korporasi. Baik secara illegal atau dengan cara sebagaima bisa dibuat menjadi legal dalam kaca mata hukum.
Tentang tutupan hutan, banyak penelitian membuktikan bahwa masyarakat memiliki kearifan dalam mengelola lingkungan. Tetapi, bukannya didukung malahan seringkali rakyat diposisikan pada posisi yang kalah dan salah.
Seperti hutan jati rakyat yang dibenturkan dengan peraturan pemanfaatan jatinya. Cendana yang juga terbentur dengan peraturan daerah. Damar, diembat oleh ORBA dengan program transmigrasinya dan ancaman kelapa sawit. Kemenyan di Sumatra Barat diganyang oleh industri pulp. Tengkawang diserobot oleh kelapa sawit.
Saban hari konflik2 seperti itulah yang muncul.
Hal ini membuat resistensi masyarakat terhadap sesuatu yang berbau "pemerintah" dan "seragam" menebal. Hingga program2 GNRHL pun menjadi mentah.
Tetapi kemudian jika tuding2an salah siapa, persoalannya gak akan pernah selesai.
Masyarakat pedalaman hampir2 takpernah mendapatkan pengakuan hukum terhadap kepastian (STATUS) tanah mereka, sementara pemerintah selalu bilang pada orang2 yang masuk ke kawasan lindung sebagai perambah.
Pengelolaan kawasan berbasis manajemen terpadu hampir takpernah berhasil. Walau pada satu titik tertentu menunjukkan harapan. Sayangnya program2 semacam umumnya ini diinisiasi oleh NGO yang memiliki banyak keterbatasan dan pemerintah (departemen kehutanan , BPN, DPR dan lain2 ) jalan sendiri-sendiri dengan agenda masing2 yang seringakli kental dengan nuansa KKN. Dalam program2 semacam ini NGO menjadi sapi perahan. Pengelola dan juga DPR seringkali mempertanyaan "kesejahteraan" mereka, bukannya saling berbagi sebatas dengan kemampuan masing2. Padahal jika tidak terlalu rakus sebenarnya pasti ada anggaran untuk alat, transportasi, dan uang saku. Tetapi pada prakteknya ketika tuntutan2 yang tidak masuk akal (seperti meminta uang saku yang lebih besar dari gaji para staf NGO) tidak terpenuhi yang dilakukan adalah sabotase terhadap program.
Ada masalah mentalitas pada diri kita"kaum rimbawan".
Kedua hal, status dan juga tutupan sama pentingnya.
Masalah konsumsi per kapita memang bisa jadi mendasar dan perlu diperhatikan.
Dari penelitianku kemaren. Justru para migrant dari JAWA yang memiliki tanah lebih dari 5 ha lah yang pengin terus ekspansi ngembat hutan. Masyarakat asli cukup dengan 1-3 ha, karena itu yang mampu digarap oleh satu keluarga dan sudah mencukupi bahkan buat bayar sekolah.
Banyak cerita2 sedih kaum marjinal yang dipermainkan oleh tuan tanah tuan tanah kecil. Yang ujung2nya mendorong mereka untuk tidak lagi mempertimbangkan status tanah apakah itu hutan lindung atau bukan dengan masuk dan menjadi perambah.
Kesediaan masyarakat membangun lingkungan yang baik, dataku mengatakan masyarakat mau dan ingin melindungi satwa2 tertentu sebagian besar bukan karena HUKUM mengaturnya, tetapi dari manfaat dan interaksi antara mereka. Ketika satwa itu HAMA, mereka gak akan mau mendukung untuk dilindungi. Artinya ketika aku berasumsi bahwa kita mau membenahi keadaan dengan salah satunya menunjukkan kepada masyarakat nilai atau benefit dari adanya tutupan lahan berupa "hutan" aku yakin mereka akan riang gembira berlomba-lomba menjaga tutupan hutan.
Artinya tinggal bagaimana kita mampu mendukung suasana seperti itu. Tingkat kekritisan kita terhadap peraturan yang diusulkan ataupun kebijakan yang akan diputuskan bisa menjadi langkah awal. Gerakan frontal dan halus bagiku sama saja. NGO dengan pemboikotan atau lobi-lobi dalam ruang diskusi sama baiknya. Kemandirian pemikir2 kampus sepertinya harus direvitalisasi. Tawar2an penelitian untuk mengukuhkan eksistensi HPH atau program2 atau kebijakan2 yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat sedapat mungkin dikurangi. Selain itu pula memang tidak dipungkiri bahwa beberapa NGO hanya sekelompok orang yang tidak diterima dan bisa masuk ke dalam ruang2 yang lebih "mapan". Jadi NGO bukan sebuah pilihan yang didasari oleh prinsip, idelisme dan pilihan hidup.
Saat ini dari penelitianku kemaren sedang berjalan program implementasi untuk menguatkan masyarakat bahwa pilihan untuk menjaga dan melindungi tanaman damar adalah sebuah pilihan yang bijak, demi masa depan kawasan tersebut.
Bagiku, ruang di sini adalah ruang bebas dimana kita bisa saling dukung dan memberi masukan untuk melangkah dengan semakin baik.
Pez, port wine aja berliter2 bahkan kemaren sempat beli Italian red wine, males ah ngebir kurang anget di badan.
SALAM,
Anton 'Mandra'
Hutan dan Pembangunan Daerah 4
Aku setuju Pez, kekuatan modal yang ada di sekitar kita memang luar biasa kuatnya dengan indikasi seperti yang njenengan contohkan itu, indikasinya juga kuat sekali : group2 besar pertambangan dan perkebunan sawit selalu bermain dibelakang. Konteksnya Nana kemarin kan RTRWP, jadi bicaranya emang pada status kawasan dulu. Tempatku sekarang termasuk dalam 1 dari 3 Provinsi yang RTRWP nya belum disetujui karena faktor utamanya ya kepentingan pemilik modal tadi. Bayangkan : Instansi kita masuk dalam Pokja RTRWP, namun secara riil kita seperti sendirian berada dipihak yang berseberangan dengan seluruh unsur yang ada, bahkan sampai pas pembahasan ke Jakarta kita berangkat sendiri dan cari penginapan sendiri sementara mereka (Dewan, Dinas Tambang & Dinas Kebun) fasilitas dan akomodasinya boleh dibilang di bintang 5 semua). Mesipun saya tidak terkena langsung tapi kalo ancaman dan gertakan sudah gak terhitung, kita dituding "lha yang gaji kan Gubernur kenapa malah membela kepentingan pusat?" sampe "Dasar orang Jawa cuma cari makan aja disini aja koq" pernah terlontar (untung bolo-boloku cah '93 gak ono, nek ono lha mesti wis dadi tawuran etnis ha..ha.. dan padahal aku kan gak cuma cari makan disini, yang kucari hanyalah sesuap nasi dan sesendok berlian )
Otonomi daerah juga menambah panjang dafar sebab, karena dengan otda, daerah dipacu untuk sebesar-besarnya punya PAD. Ibarat di roman dan sinetron picisan yang melakukan pembenaran terhadap maaf...pelacur karena sudah ndak punya modal & ketrampilan apa2 untuk dijual, maka satu itu aja yang bisa untuk modal bertahan hidup. Sama dengan kita, dari 14 kabupaten yang ada, hanya SDA aja yang dipunyai jadi ya .. Konversi hutan buat tambang apalagi kebun memang lebih menjanjikan untuk dapat PAD lebih besar dari pada kehutanan.
Masalah penutupan lahan juga betul pez, banyak pejabat bahkan sampe perguruan tinggi mempertanyakan lha wong kenyataan di lapangan hanyalah alang-alang koq masih diklasifikasikan sebagai hutan, mau dimanfaatkan aja susahnya minta ampun sampe ijin pelepasan kawasan ke Menteri Kehutanan segala. dan Ijin pelepasan ini yang sering dijadikan stigma bahwa Kehutanan itu Arogan.
Untuk DAK-DR dan Reboisasi kelemahan kita memang base-on nya pada proyek jadi ya..banyak gagalnya bahkan banyak sekali pengelola DAK-DR kita udah masuk Bui. Yang agak sulit implementasinya karena parameter aturannya seringkali JAWA sebagai parameter seperti kelompok tani (disini mana ada kelompok tani yang secara riil ada di masy. paling2 juga bentukan dadakan sebagai persyaratan administratif) belum lagi standar upah dan biaya keg. apalagi LSM pendamping aduh...miris banget kalo kita liat, gak ada sifat fasilitatornya dan gak punya semangat pemberdayaan sama sekali. Guyonan kita disini bahwa ternyata ORANG HUTAN lebih pintar dari ORANG KEHUTANAN dalam urusan reboisasi, karena orang hutan hanya dengan fesesnya sudah bisa membantu merubah biji yang dimakan ketika dikeluarkan bisa tumbuh jadi tanaman, belum lagi kalo pake tangan dan kakinya he..he..
Tapi seperti kata yogi dan Anton, Rimbawan itu sikap mental jadi ya kita tetap optimis dan berkarya, sekecil dan seremeh apapun "Ruh" rimbawan masih melekat. Kalo definisi Rimbawannya Tony ya... monggo... Ki Lurah Mboten Nderek...
Suwun
Hutan dan Pembangunan Daerah 3
Persoalan konversi kawasan hutan seperti kasus Pulau Bitan bukanlah yang pertama terjadi. Begitu juga dengan susahnya instansi kehutanan di daerah untuk tetap mempertahankan hutannya bukanlah berita baru.
Buat Mukti Aji: mempertahankan 60% “satutus” kawasan hutan memang penting, tapi menurut saya tidak kalah penting adalah mempertahankan tutupan hutan. Di jawa misalnya, sampai kapanpun dan sudah berlangsung bertahun-tahun daratan yang berstatus hutan tidak pernah dan tidak akan kurang dari 2,9 juta ha. (Teman-teman di Perhutani pasti punya data yang lebih baik).
Tetapi apakah kalau yang kita jumpai hanyalah tanaman jati yang berdiameter kurang dari 5 cm dan tinggi 3 meter dapat dikatakan sebagai hutan? Bahkan ketika di sekitar kampus getas tanaman jatinya masih besar-besar, teman-teman kita mahasiswa dari Kalimantan pun berkomentar: wah ini sih bukan hutan, ini adalah kebun. (mandra pasti ingat keributan kecil di getas pada kala itu?)
Sebaliknya di gunung kidul, tanah dengan status hutan tidak banyak justru para penduduk (petani) menanami tanah pertanian dan pekarangan miliknya dengan tanaman hutan. Maka jadilah hutan yang jauh lebih hutan dibandingkan tanah-tanah yang berstatus hutan. Ndra,,,tanahmu yang 5 ha sudah ditanami belum?
Sedikit berbeda dengan Nana yang menyoroti lahan hutan yang kini dijadikan komoditas perdagangan setelah kayu ndak bisa lagi andalin, saya justru melihat ini sebagai bukti bahwa masalah pelestarian hutan, bukan semata-mata hanya persoalan teknis kehutanan. Ada persoalan-persoalan politis di balik itu semua yang justru jarang sekali (bisa) dirambah atau justru malah dihindari oleh mereka yang rimbawan.
Masih jelas dalam ingatan ketika Megawati menerbitkan Perpu No 1 tahun 2004 tentang Perubahan UU no. 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Perpu tersebut diterbitkan oleh pemerintah untuk memberikan kepastian hukum bagi ijin pertambangan di kawasan hutan lindung yang sudah terbit ijinnya sejak masa pemerintahan Soeharto.
Bagi yang selalu berpikir tentang kelesetarian hutan (konservasionis) , tentu hal tersebut merupakan suatu keganjilan. Bukannya mencabut ijin ke 13 perusahaan tambang tersebut, tetapi pemerintah justru merubah UU yang dibuatnya.
Selain menuai protes dari para aktivis lingkungan dan akademisi, pada mulanya sebagian anggota dewan juga menolak Perpu tersebut. Namun dalam perkembangannya DPR justru mengesahkan Perpu tersebut menjadi Undang-undang.
Bisa jadi benar apa kata SLANK, ….. ujung-ujunganya duit.
Begitu juga halnya dengan terbitnya PP no 2 tahun 2008 yang mengatur tentang tarif dan jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan. Menurut beberapa sumber, sebelum PP tersebut ditetapkan sekitar 80-an ijin tambang di kawasan lindung sudah masuk ke DPR. Belum lagi termasuk usulan alih fungsi hutan untuk perkantoran pemerintah daerah, perkebunan sawit dan pusat perekonomian lainnya.
Dari kedua contoh kasus di atas ada sinyalemen bahwa pihak-pihak yang berkepentingan dan ingin meraup keuntungan bisa jadi oknum pemerintah daerah, perusahaan pertambangan, perkebunan, dll menggunakan kekuatan modalnya untuk mempengaruhi tidak hanya pemerintah tetapi juga wakil-wakil rakyat di senayan. Pertanyaannya kemudian dalam kondisi carut marut seperti ini dimanakah para sarjana kehutanan yang sering disebut dan mengaku Rimbawan walau belum sampai menato jidatnya berada?
Jika menilik pada kasus Bitan, ternyata alih fungsi hutan lindung tersebut juga berdasar pada rekomendasi Tim INDEPENDEN yang dibentuk oleh Menhut (……..mungkin ini yang dibilang Nana sebagai Bos). Silakan klik ….
Saya berbeda dengan Mukti Aji yang melihat persoalan utamanya adalah laju pertumbuhan penduduk yang pesat dan pemerintah yang tidak siap dengan payung hukum mengenai pengelola SDA. Sepertinya hal itu hampir tidak terbantahkan, tetapi menurut saya ada factor lain yang justru lebih berpengaruh dibandingkan laju pertambahan penduduk yaitu tingkat konsumsi per kapita.
Misalnya untuk kertas, pernahkah kita mencoba menghitung berapa konsumsi kita selama setahun? Menurut perhitungan seorang teman, konsumsi kertas per angkatan kerja (pegawai)Indonesia pada tahun 2006 adalah 55 kg yang setara dengan 0,7 – 1 pohon pertahun. Artinya setiap tahunnya di seluruh Indonesiasetidaknya 90 – 100 juta pohon ditebang untuk kebutuhan kertas. Berapa hektar hutan itu? Mudah2an HTI bisa diandalkan!! !!!!!
Saya bisa pastikan tingkat konsumsi kertas penduduk kota jauh lebih besar dibandingkan penduduk di daerah disekitar hutan. Jadi apalah artinya di sisi lain kita selalu bilang lestarikan hutan, tetapi kita tidak bisa dan mau menurunkan konsumsi kita.
Di tingkat global, hal serupa yang disampaikan oleh Mukti Aji ini sering digunakan oleh Negara-negara maju seperti amerika. Bukannya merubah kebijakan mereka yang merusak lingkungan, negara2 maju justru semakin kuat dalam menyalahkan negara-negara berkembang seperti Indonesia yang telah gagal mempertahankan lingkungan alamnya sebagai akibat dari kegagalan menekan pertambahan penduduknya.
Berkaitan dengan gontok2an antar departemen saya melihatnya bukan pada tidak adanya payung hukum tentang PSDA tetapi justru terletak pada ketidak konsistenan pemerintah dalam menjalankan undang-undang yang sudah ada. Bagaimana UU no 41 direvisi jelas sekali menunjukkan hal tersebut. Catatan sejarah keleda-ledean kita dalam menjalankan undang-undang saya rasa sudah terlalu panjang. Pada jaman Soekarno kita punya UU Agraria dan mencoba menasionalisasi perusahaan-perusaha an Eropa tetapi semuanya berakhir ketika Soeharto berkuasa. Melalui UU penanaman modal, Orde baru banyak mengundang dan mengijinkan perusahaan2 asing beroperasi di Indonesia. Begitu juga dengan UU Pokok Kehutanan no 5 tahun 67 dibuat bukan dalam rangka untuk menyelamatkan hutan tetapi semata-mata untuk menyelamatkan investasi.
Dengan perpolitikan yang konspiratif seperti saat ini, usulan untuk merubah atau menyusun undang-undang baru bisa jadi akan dimanfaatkan oleh sekelompok elit maupun pengusaha untuk kepentingannya sendiri.
Udah dulu ah,,, capek. nDro,, sini temani aku ngebir!!!!!! !!
Edi ' Jampez' Suprapto
Thursday, April 10, 2008
Daryanto Katon tenan dan Bayu Bay-bay
Hutan dan Pembangunan Daerah 2
Persoalan utama sebenarnya pada laju jumlah penduduk kita yang pesat sehingga tekanan terhadap SDA otomatis meningkat. Celakanya pemerintah kita tidak siap dengan payung hukumnya sehingga UU pengelolaan SDA yang ada juga masih sektoral : Kehutanan pake UU 41, Pertambangan & perkebunan juga pake UU sendiri so jelas mentok2nya mereka pasti pada status kawasan yang sudah didefinisikan hutan, coba kalo ada payung besar UU Pengelolaan SDA kan bisa integral melihatnya sehingga tidak ada lagi gontok2an antar departemen yang semuanya mengatakan demi kemajuan dan pembangunan.
Wednesday, April 9, 2008
Hutan dan Pembangunan Daerah
Rimbawan lagi!
Menggagas kata "rimbawan" bisa serius atau sambil lalu, dari gojek kere sampai diskusi keras balang-balangan kursi.
Mohon baca:
http://www.bernas. co.id/news/ CyberNas/ /4922.htm
Bapak Sambas di koran bernas tersebut pada link di atas,
Menekankan pentingnya peran "rimbawan" dalam mengelola hutan berbasis ekosistem.
Artinya peran serta rimbawan bukan pada satu titik tertentu, yaitu "tinggal" di hutan. Ini sebuah gambaran dari email Om Yogi terdahulu.
Ttg WJS Purwodarmintonya manut aja deh, secara males ke perpus buat liat.
Asal kata rimba+wan(atau wati juga boleh lah...).
rim·ba n hutan lebat (yg luas dng pohon yg besar-besar) : hilang tidak tentu -- nya, hilang lenyap tanpa meninggalkan kesan atau jejak;
-- beton daerah (kota) yg penuh dng bangunan bertingkat: pada akhir abad ke-20 ini Jakarta akan menjadi -- beton; -- raya hutan yg amat besar;
me·rim·ba v 1 menjadi spt rimba: ladangnya sudah ~; 2 pergi atau bekerja di rimba: setiap hari ia ~ mencari kayu bakar;
pe·rim·ba n orang yg mencari nafkah di rimba: perkelahian seru antara ~ dng harimau
rim·ba·wan n 1 ahli kehutanan; 2 pencinta hutan
Kedua kata tersebut bersumber dari:
http://pusatbahasa. diknas.go. id/kbbi/index. php
Tentang batasan rimba/hutan secara keilmuan rasa-rasanya cukup bisa diwakili oleh kamus itu dalam bahasan sekarang ini. Walau ada penjelasan yang lebih mendalam terlebih mengenai syarat2 sebuah kawasan bisa disebut hutan atau rimba (jadi ingat Ekologi Hutan I).
Sepakat dengan Om Yogi bahwa konyol jika rimbawan adalah "tarzan". Sepakat lagi pada Om Yogi bahwa rimbawan adalah "tjap" bagi yang ikut (atau ikut2an) ngurusin hutan entah outcomenya apa. Seperti yang diungkapkan salah satu guru besar kita tadi bahwa pengelolaan hutan sekarang berbasis ekosistem.
Tentang romantisme, ada yang ingat di perpustakaan kehutanan ada buku bulukan tulisan jaman baheula dari seorang bos wassen di hutan jati jawa. Dia seorang penjaga hutan, tunggangan sehari2nya kuda, dengan pistol dan senapan. Bisa dilihat juga di Manggala, pakaian seorang "jagawana" pada jaman itu dengan pelana kudanya kalau ndak salah. Apakah romantisme menunggangi kuda, topi kulit pistol dan bedil masih relevan?.
Kata rimbawan berkesan megah gagah..... tidak takut keluar masuk hutan mengarungi sungai banjir tidur berselimut embun diiringi orkestra serangga bertusuk gigi bulu landak. Seperti Indiana Jones yang bergulat dengan artefak2 kuno. Apakah kegagahan dan nama besar yang kemudian dicari dalam nama rimbawan?.
Batasan dalam kamus besar bahasa indonesia, menarik sekali karena dalam kamus tersebut (link di atas) menyebutkan tentang adanya perimba, orang mencari nafkah di hutan.
Pergeseran budaya dan kemajuan mungkin bisa digunakan sebagai landasan logika berpikir bahwa mencari nafkah di rimba bukan lagi para peramu, pemburu. Sehingga bagi saya semua orang yang bekerja dalam sektor kehutanan belom tentu rimbawan (yang secara gambang ditulis dalam kamus itu sebagai ahli kehutanan dan pecinta hutan).Tetapi perimba bisa juga menjadi seorangrimbawan, jika memiliki nilai "ahli" (pada taraf tertentu) tentang hutan dan juga mencintai hutan. Jika dibalik, apakah rimbawan bisa menjadi perimba, bagi saya sangat mungkin ketika ke"achli"an tentang hutan tadi telah dilupakan dan kecintaan terhadap hutan telah luntur. Jadi semangatnya adalah semangat "mencari" nafkah doang.
Hutan saat ini, jika kemudian nilai yang mendasari pemanfaatannya adalah "cuma" finansial semata-mata, bukan kemudian seperti yang tertera dalam uang logam Rp 100 jaman lalu (hutan untuk kesejahteraan) . Artinya semata-mata nguntal kayu demi kekayaan segelintir orang saja. Maka sah-sah saja (bagi saya) menyebutnya sebagai perimba. Yang jelas berbeda dengan rimbawan.
Sehingga (sekali lagi) bagi saya kesimpulan bahwa; rimbawan itu adalah sikap mental (menurutku yang bukan rimbawan). Bukan karena ijazah, tapi karena pikiran, perhatian, dan dedikasinya untuk perbaikan dan pembangunan hutan Indonesia (Kartiko, 2008) adalah TJOTJOK.
Nilai-nilai yang ada didalam diri itulah yang menunjukkan apakah dia rimbawan atau bukan. Para pemikir di LIPI (atau mana saja), para penggagas nasib rakyat di DPR bisa jadi seorang rimbawan yang baik walau mungkin tidak pernah masuk ke hutan tetapi mereka mencurahkan energi bagi perbaikan dan pembangunan hutan Indonesia. Dan orang yang memiliki dasar keilmuan kehutanan belum tentu seorang rimbawan ketika nilai yang di"usung" dalam kesehariannya adalah "rupiah".
Menggunakan "Tjap" rimbawan, menstempel kening kita dengan kata "rimbawan" pada akhirnya adalah sebuah pilihan. Yang mau memakai tjap itu tentunya harus menyadari batasan dan "beban moral" atau pun social obligation yang terbawa dalam kata rimbawan tersebut.
Dan memilih menjadi perimba adalah sah hukumnya walau mungkin akhirnya (pada kasus-kasus terntentu) akan berhadapan dengan sang Rimbawan.
Selamat memilih untuk mentattoo kening atau lengan dengan kata rimbawan.... ..
Yang jelas rimbawan ada di hati dan otak.
aku sendiri lebih suka menyebut diriku pengelana rimba
Yang tidak memiliki Jane tetapi Lily.
Salam,
Anton Mandra
Monday, April 7, 2008
ANGKATAN '93 DALAM ANGKA
Berdasarkan penjurusan (populasi 86 orang), Manajemen Hutan (52 %) paling banyak dimasuki sedangkan Teknologi Hasil Hutan (10%) paling sedikit mahasiwanya.
Berdasarkan sebaran tempat tinggal/kerja (populasi adalah 74 orang), kebanyakan bertempat tinggal di pulau Jawa (70.2 %), dimana sekitar 54 % berdomisili di Jawa Tengah-Jogja.
Berdasarkan spesifikasi pekerjaan, persentase cukup berimbang antara mereka yang menjadi PNS dan bukan PNS. Dari mereka yang PNS, 94 % bekerja di bidang kehutanan sedangkan dari yang Non-PNS sebanyak 45 % bekerja di sektor kehutanan.
Selanjutnya, dari keseluruhan populasi, sekitar 72 % bekerja di bidang kehutanan, yang mana paling banyak berkiprah di Dephut (26 %).
by Ganis
Sunday, April 6, 2008
Rimbawan
by Yogi Kartiko
Monday morning shocking!, setelah 3 hari ndak buka email…wow …kalo aku pinjem bosone arek Ganis "kate la po kon iku podo?". Mrondo kasih judul dipostingannya aneh banget isine ngalor ngidul hahahhhaha bikin orang kalo mung sokur baca jadi muntap.
Tapi mungkin aku bisa memahami mrondo, ndro di bahasa ibu kata hutan dan rimba itu dibedakan seperti forest dan jungle di bahasa inggris. Kalo ndak salah inget sih di wjs poerwodarminto (satu masukan buat warnet di indonesia biar tambah afdol dan thoyibb harus menyediakan kamus bahasa indonesia!!) beda hutan dan rimba itu pada campur tangan manusia. Jadi luasan dengan pohon besar rimbun dan seisinya jika masih asli itu rimba, kalo sudah ada campur tangan manusia itu namanya hutan. (mohon koreksi ini logikaku berdasar ngeling-ngeling wjs poerwodarminto tadi keliru).
Sekarang masalah sebutan kalo dalam bahasa inggris manusia yang mengurusi hutan disebut forester, kalo yang ngurusi rimba … (meski belum pernah denger mungkin imron, mrondo, toni atau yang laen bisa betulin..) jungleman.. tapi dikuping ndak pas juga, kalo diganti man on the jungle pasti bayangannya ke tarzan.. dan bisa dipastikan yang dibayangin lenthu pasti pake huruf XXX….hahahahaha. tapi rimbawan yang ada di benak orang-orang sekarang ndak lebih dari forester (eng).
Jadi apakah rimbawan itu tarzan karena harus selalu di hutan? Sebentar itu terlalu konyol, coba dipikir lagi…jika yang dimaksud dengan rimbawan adalah orang yang mengurusi hutan maka banyak jenis pekerjaan yang harus diurusi. Mulai dari perencanaan, eksplorasi, rehabititasi hingga pemberdayaan masyarakat local, kebijakan, pengawasan, dlll … yang mana disebut yang rimbawan? ato rimbawan jenis apa? Kalo yang bisa ngurusi semuanya namanya bukan rimbawan tapi superman!...
Jadi rimbawan itu adalah sikap mental (menurutku yang bukan rimbawan). Bukan karena ijazah, tapi karena pikiran, perhatian, dan dedikasinya untuk perbaikan dan pembangunan hutan Indonesia….tapi ternyata itu terlalu muluk…terlalu ngoyo woro…terlalu tinggi…idealis… .njelehi …whuek cuh buang kalen wae…
Salam Rahayu