Friday, April 11, 2008

Hutan dan Pembangunan Daerah 3

Persoalan konversi kawasan hutan seperti kasus  Pulau Bitan bukanlah yang pertama terjadi.  Begitu juga dengan susahnya instansi kehutanan di daerah untuk tetap mempertahankan hutannya bukanlah berita baru. 

Buat Mukti Aji: mempertahankan 60% “satutus” kawasan hutan memang penting, tapi menurut saya tidak kalah penting adalah mempertahankan tutupan hutan.  Di jawa misalnya, sampai kapanpun dan sudah berlangsung bertahun-tahun daratan yang berstatus hutan tidak pernah dan tidak akan kurang dari 2,9 juta ha.  (Teman-teman di Perhutani pasti punya data yang lebih baik).

 

Tetapi apakah kalau yang kita jumpai hanyalah tanaman jati yang berdiameter kurang dari 5 cm dan tinggi 3 meter dapat dikatakan sebagai hutan? Bahkan ketika di sekitar kampus getas tanaman jatinya masih besar-besar, teman-teman kita mahasiswa dari Kalimantan pun berkomentar: wah ini sih bukan hutan, ini adalah kebun. (mandra pasti ingat keributan kecil di getas pada kala itu?)

 

Sebaliknya di gunung kidul, tanah dengan status hutan tidak banyak justru para penduduk (petani) menanami tanah pertanian dan pekarangan miliknya dengan tanaman hutan. Maka jadilah hutan  yang jauh lebih hutan dibandingkan tanah-tanah yang berstatus hutan. Ndra,,,tanahmu yang 5 ha sudah ditanami belum?

 

Sedikit berbeda dengan Nana yang menyoroti lahan hutan yang kini  dijadikan komoditas perdagangan setelah kayu ndak bisa lagi andalin, saya justru melihat ini sebagai bukti bahwa masalah pelestarian hutan, bukan semata-mata hanya persoalan  teknis kehutanan. Ada persoalan-persoalan politis di balik itu semua yang justru jarang sekali (bisa) dirambah atau justru malah dihindari oleh mereka yang rimbawan. 

 

Masih jelas dalam ingatan ketika Megawati menerbitkan Perpu No 1 tahun 2004 tentang Perubahan UU no. 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Perpu tersebut diterbitkan oleh pemerintah untuk memberikan kepastian hukum bagi ijin pertambangan di kawasan hutan lindung yang sudah terbit ijinnya sejak masa pemerintahan Soeharto.   

 

Bagi yang selalu berpikir tentang kelesetarian hutan (konservasionis) , tentu hal tersebut merupakan suatu keganjilan. Bukannya mencabut ijin ke 13 perusahaan tambang tersebut, tetapi pemerintah justru merubah UU yang dibuatnya.

 

Selain menuai protes dari para aktivis lingkungan dan akademisi, pada mulanya sebagian anggota dewan juga menolak Perpu tersebut. Namun dalam perkembangannya DPR justru mengesahkan  Perpu tersebut menjadi Undang-undang.

 

Bisa jadi benar apa kata SLANK, ….. ujung-ujunganya duit.

 

Begitu juga halnya dengan terbitnya PP no 2 tahun 2008 yang mengatur  tentang tarif dan jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan. Menurut beberapa sumber, sebelum PP tersebut ditetapkan sekitar 80-an ijin tambang di kawasan lindung sudah masuk ke DPR. Belum lagi termasuk usulan alih fungsi hutan  untuk perkantoran pemerintah daerah, perkebunan sawit dan pusat perekonomian lainnya.  

 

Dari kedua contoh kasus di atas ada sinyalemen bahwa pihak-pihak yang berkepentingan dan ingin meraup keuntungan bisa jadi oknum pemerintah daerah, perusahaan pertambangan, perkebunan, dll menggunakan kekuatan modalnya untuk mempengaruhi tidak hanya pemerintah tetapi juga wakil-wakil rakyat di senayan.  Pertanyaannya kemudian dalam kondisi carut marut seperti ini dimanakah para sarjana kehutanan yang sering disebut dan mengaku Rimbawan walau belum sampai menato jidatnya  berada? 

 

Jika menilik pada kasus Bitan, ternyata alih fungsi hutan lindung tersebut juga berdasar pada rekomendasi Tim INDEPENDEN yang dibentuk oleh Menhut (……..mungkin ini yang dibilang Nana sebagai Bos). Silakan klik ….

http://www.detiknew s.com/indexfr. php?url=http: //www.detiknews. com/index. php/detik. read/tahun/ 2008/bulan/ 04/tgl/10/ time/125854/ idnews/921379/ idkanal/10

 

Saya berbeda dengan Mukti Aji yang melihat persoalan utamanya adalah laju pertumbuhan penduduk yang pesat  dan pemerintah yang tidak siap dengan payung hukum mengenai pengelola SDA.  Sepertinya hal itu hampir tidak terbantahkan, tetapi menurut saya ada factor lain yang justru lebih berpengaruh dibandingkan laju pertambahan penduduk yaitu tingkat konsumsi per kapita.

 

Misalnya untuk kertas, pernahkah kita mencoba menghitung berapa konsumsi  kita selama setahun? Menurut perhitungan seorang teman, konsumsi kertas per angkatan kerja (pegawai)Indonesia  pada tahun 2006 adalah 55 kg yang setara dengan 0,7 – 1 pohon pertahun. Artinya setiap tahunnya di seluruh Indonesiasetidaknya 90 – 100 juta pohon ditebang untuk kebutuhan kertas. Berapa hektar hutan itu? Mudah2an HTI bisa diandalkan!! !!!!!

 

Saya bisa pastikan tingkat konsumsi kertas penduduk kota jauh lebih besar dibandingkan penduduk di daerah disekitar hutan. Jadi apalah artinya di sisi lain kita selalu bilang lestarikan hutan, tetapi kita tidak bisa dan mau menurunkan konsumsi kita.

 

Di tingkat global, hal serupa yang disampaikan oleh Mukti Aji ini sering digunakan oleh Negara-negara maju seperti amerika. Bukannya merubah kebijakan mereka yang merusak lingkungan, negara2 maju justru semakin kuat dalam menyalahkan negara-negara berkembang seperti Indonesia yang telah gagal mempertahankan lingkungan alamnya sebagai akibat dari kegagalan menekan pertambahan penduduknya.  

 

Berkaitan dengan gontok2an antar departemen saya melihatnya bukan pada tidak adanya payung hukum tentang PSDA tetapi justru terletak pada ketidak konsistenan pemerintah dalam menjalankan undang-undang yang sudah ada.  Bagaimana UU no 41 direvisi jelas sekali menunjukkan hal tersebut.  Catatan sejarah keleda-ledean kita dalam menjalankan undang-undang saya rasa sudah terlalu panjang. Pada jaman Soekarno kita punya UU Agraria dan mencoba menasionalisasi perusahaan-perusaha an Eropa tetapi semuanya berakhir ketika Soeharto berkuasa. Melalui UU penanaman modal, Orde baru banyak mengundang dan mengijinkan perusahaan2 asing beroperasi di Indonesia. Begitu juga dengan UU Pokok Kehutanan no 5 tahun 67 dibuat bukan dalam rangka untuk menyelamatkan hutan tetapi semata-mata untuk menyelamatkan investasi.  

 

Dengan perpolitikan yang konspiratif seperti saat ini, usulan untuk merubah atau menyusun undang-undang baru bisa jadi akan dimanfaatkan oleh sekelompok elit maupun pengusaha untuk kepentingannya sendiri.

 

Udah dulu ah,,, capek. nDro,, sini temani aku ngebir!!!!!! !!


Edi ' Jampez' Suprapto

No comments: