Friday, April 11, 2008

Hutan dan Pembangunan Daerah 5

Pez, 5 ha kuwi diangan2 huehehe… Aku arep rabi wae bingung, apa iya tanah warisan sing sakcuplik kudu didol.
But, i will make a forest at least for my self…one day


Mempertahankan status hutan. Pada level bawah, status kadang (bahkan sering dibuktikan) tidak memberikan efek penghormatan dan kepedulian. Saban hari laporan yang mucul selalu menyinggung tentang perubahan lansekap. Baik oleh masyarakat atau pun oleh korporasi. Baik secara illegal atau dengan cara sebagaima bisa dibuat menjadi legal dalam kaca mata hukum.

Tentang tutupan hutan, banyak penelitian membuktikan bahwa masyarakat memiliki kearifan dalam mengelola lingkungan. Tetapi, bukannya didukung malahan seringkali rakyat diposisikan pada posisi yang kalah dan salah. 
Seperti hutan jati rakyat yang dibenturkan dengan peraturan pemanfaatan jatinya. Cendana yang juga terbentur dengan peraturan daerah. Damar, diembat oleh ORBA dengan program transmigrasinya dan ancaman kelapa sawit. Kemenyan di Sumatra Barat diganyang oleh industri pulp. Tengkawang diserobot oleh kelapa sawit.
Saban hari konflik2 seperti itulah yang muncul.
Hal ini membuat resistensi masyarakat terhadap sesuatu yang berbau "pemerintah" dan "seragam" menebal. Hingga program2 GNRHL pun menjadi mentah.
Tetapi kemudian jika tuding2an salah siapa, persoalannya gak akan pernah selesai.
Masyarakat pedalaman hampir2 takpernah mendapatkan pengakuan hukum terhadap kepastian (STATUS) tanah mereka, sementara pemerintah selalu bilang pada orang2 yang masuk ke kawasan lindung sebagai perambah.
Pengelolaan kawasan berbasis manajemen terpadu hampir takpernah berhasil. Walau pada satu titik tertentu menunjukkan harapan. Sayangnya program2 semacam umumnya ini diinisiasi oleh NGO yang memiliki banyak keterbatasan dan pemerintah (departemen kehutanan , BPN, DPR dan lain2 ) jalan sendiri-sendiri dengan agenda masing2 yang seringakli kental dengan nuansa KKN. Dalam program2 semacam ini NGO menjadi sapi perahan. Pengelola dan juga DPR seringkali mempertanyaan "kesejahteraan" mereka, bukannya saling berbagi sebatas dengan kemampuan masing2. Padahal jika tidak terlalu rakus sebenarnya pasti ada anggaran untuk alat, transportasi, dan uang saku. Tetapi pada prakteknya ketika tuntutan2 yang tidak masuk akal (seperti meminta uang saku yang lebih besar dari gaji para staf NGO) tidak terpenuhi yang dilakukan adalah sabotase terhadap program.
Ada masalah mentalitas pada diri kita"kaum rimbawan".
Kedua hal, status dan juga tutupan sama pentingnya.

Masalah konsumsi per kapita
 memang bisa jadi mendasar dan perlu diperhatikan.
Dari penelitianku kemaren. Justru para migrant dari JAWA yang memiliki tanah lebih dari 5 ha lah yang pengin terus ekspansi ngembat hutan. Masyarakat asli cukup dengan 1-3 ha, karena itu yang mampu digarap oleh satu keluarga dan sudah mencukupi bahkan buat bayar sekolah.
Banyak cerita2 sedih kaum marjinal yang dipermainkan oleh tuan tanah tuan tanah kecil. Yang ujung2nya mendorong mereka untuk tidak lagi mempertimbangkan status tanah apakah itu hutan lindung atau bukan dengan masuk dan menjadi perambah.

Kesediaan masyarakat membangun lingkungan yang baik, dataku mengatakan masyarakat mau dan ingin melindungi satwa2 tertentu sebagian besar bukan karena HUKUM mengaturnya, tetapi dari manfaat dan interaksi antara mereka. Ketika satwa itu HAMA, mereka gak akan mau mendukung untuk dilindungi. Artinya ketika aku berasumsi bahwa kita mau membenahi keadaan dengan salah satunya menunjukkan kepada masyarakat nilai atau benefit dari adanya tutupan lahan berupa "hutan" aku yakin mereka akan riang gembira berlomba-lomba menjaga tutupan hutan.

Artinya tinggal bagaimana kita mampu mendukung suasana seperti itu. Tingkat kekritisan kita terhadap peraturan yang diusulkan ataupun kebijakan yang akan diputuskan bisa menjadi langkah awal. Gerakan frontal dan halus bagiku sama saja. NGO dengan pemboikotan atau lobi-lobi dalam ruang diskusi sama baiknya. Kemandirian pemikir2 kampus sepertinya harus direvitalisasi. Tawar2an penelitian untuk mengukuhkan eksistensi HPH atau program2 atau kebijakan2 yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat sedapat mungkin dikurangi. Selain itu pula memang tidak dipungkiri bahwa beberapa NGO hanya sekelompok orang yang tidak diterima dan bisa masuk ke dalam ruang2 yang lebih "mapan". Jadi NGO bukan sebuah pilihan yang didasari oleh prinsip, idelisme dan pilihan hidup.

Saat ini dari penelitianku kemaren sedang berjalan program implementasi untuk menguatkan masyarakat bahwa pilihan untuk menjaga dan melindungi tanaman damar adalah sebuah pilihan yang bijak, demi masa depan kawasan tersebut.

Bagiku, ruang di sini adalah ruang bebas dimana kita bisa saling dukung dan memberi masukan untuk melangkah dengan semakin baik. 

Pez, port wine aja berliter2 bahkan kemaren sempat beli Italian red wine, males ah ngebir kurang anget di badan.

SALAM,
Anton 'Mandra'
ngetikthesis mode on


No comments: