Sunday, May 11, 2008

Hutan dan Keamanannya 6

by


Mukti"Manten" Aji


Kang jampez,

Aku tak niru model njenengan yo...

Kenapa kerja-kerja kita bisa dikalahkan oleh cukung-cukung ini. Kenapa kita tidak sikat cukung-cukung ini. Kenapa hokum selalu lemah tak berdaya ketidak berhadapan dengan mereka para cukong yang memiliki modal dan kekuasaan?

Salah satu sebabnya sudah dijawab sendiri di bagian awal tulsane Njenengan : Dan si provokator tidak merasa enggan untuk demi kepentingannya membagi-bagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan. Sebab yang lain sudah dikupas mas dede yaitu korban sistem, yang dalam hal ini adalah bahwa sistem hukum kita hanya mengenal Penyidik tunggal (Polisi), penuntut tunggal (Jaksa), dan Pengadil tunggal (Hakim). Pengecualiannya hanyalah KPK yang bisa tiga2 nya dilakukan. Seandainya diberi kewenangan kayak KPK saya yakin oknum Kades sudah dipenjarakan oleh Untoro, atau oknum Polisi oleh Elwan. Karena korban sistem maka yg terjadi ketika si provokator terhalang kepentingannya oleh forester dia berlindung dibelakang tiga unsur di atas atau tambah satu yaitu partai politik.

Selalu lemah tak berdaya karena ada celah tadi, jangankan elwan, saya yang hanya staf perencanaan di dishut, sinder untoros, Sekelas Kapolri saja tak berdaya menghadapi, A. RASID yang mantan anggota MPR jelas2 sudah diketok Tersangka dan DPO kasus tanjung puting. masih ”mengudara” kemudian berpindah warga negara di Singapura dan sekarang hari2 di Jakarta bahkan kantornya tak jauh dari aparat penegak hukum. Tapi minimal kita sudah tunjukan kebenaran. Celah itu jangan sampai ada di forester.

Terlalu sederhana untuk kemudian menyalahkan masyarakat, kenapa masyarakat yang sebenarnya sebagai korban selalu dipersalahkan. Pernahkan masyarkat jauh sebelum didatangkan para cukung yang dilegalkan (pemegang HPH) diajak bicara lebih dulu. Kenapa mereka slalu diajak bicara setelah pihak-pihak luar menyepakati rencana dan agenda yang akan dikenakan pada wilayah mereka. Dan Setelah itu kemudian mereka dikriminalkan, disalah, disebut leda-leda. Satu modus yang terjadi dimana saja dan selalu diulang-ulang.

Dalam konteks yang saya tulis kecewa dengan masyarakat, justru kasusnya (2 kasus yang sempat ikut) adalah ada konflik antara HPH (kalo yg ditanya pernahkah masyarakat diajak bicara sebelum HPH datang aku gak tau pez, wong kira2 waktu itu aku masih SMP) dan Masyarakat dimana satu pihak menuding merambah arealnya dan dipihak lain menuduh menebang hutan adat, lalu minta ganti rugi kalo gak dikasih bakar camp & alat berat.

Kita coba selesaikan dengan cara yang tidak lazim dan tidak ada di instrumen hukum yang berlaku (yang ada di aturan kita hanya benar – salah, dan yang salah dikenai sanksi). Istilah Anton ”win-win solution”. Kita yakinkan HPH, untuk melepas saja areal yang di sengketa, HPH sudah setuju. Kemudian musyawarah dengan masyarakat, kita persilahkan mereka sendiri yang menentukan batas hutan adat milik mereka (waktu itu padahal belum dikenal pemetaan partisipatif) dan akan kita gawangi proses legalitas statusnya, setelah internal masyarakat sepakat, dilakukan tata batas bersama. begitu tinggal proses sk tata batas definitif, ada ”invisible man” yang kembali merubah pola pikir warga sehingga kesepakatan batal.


Kalo memang penilaian njenengan adalah mereka jarang sekali menyadari bahwa segenap kebijakan dan metode yang diterapkan adalah sebuah tindakan politis, ya monggo saja, namun rasanya waktu itu sebatas yang saya sadari adalah murni mengambil inisiatif sebagai forester dengan sedikit bumbu semangat pemberdayaan.

Salahkah ketika mencoba untuk berpikir untuk mendapat lebih? Cari tahu kenapa mereka terlalu mudah diiming-imingi.

Susahnya karena ”kebenaran material” lebih dulu mensahkan itu sudah milik orang, sehingga ketika yang lain mengambil maka dikenakan pasal pencurian,perambaha n dll. Namun yang pasti ini jadi catatan untuk program2 pemberdayaan kita (baik di birokrasi, korporasi maupun NGO) bahwa barangkali tidak cukup hanya memfasilitasi cara, model, dan pola, namun juga membangun kesadaran dan penanaman nilai2.

Dua tahun belakangan saya lagi lebih fokus utk pemberdayaan aparatur dengan mengajak mereka melihat ”dunia lain” model pengelolaan hutan : PHBM di Perhutani mojokerto, Sertifikasi hutan rakyat di wonogiri dan gunung kidul, thn ini ke NTB ttg pengembangan gaharu rakyat, tahun depan ke PHBM Kolaboratif di Kuningan dan mungkin lampung berikutnya (yayasan Watala yo Pez?).


Masalah perombakan sistem, saya sepakat. Sistem pengelolaan hutan kita sejak awal dibangun berdasarkan 3 strategy : EKONOMI, EKOLOGI dan MASYARAKAT. Dan prinsip dasar dari system itu adalah :

1. Kebijakan (dan komitmen) lingkungan,

2. Perencanaan,

3. Penerapan dan Operasi,

4. Pemeriksaan dan tindakan koreksi,

5. Tinjauan manajemen, dan

6. Penyempurnaan menerus

Tinggal kita yang menentukan, sekarang kita diposisi mana dan apa yang dapat kita perbuat mau di review kebijakan, atau di tinjauan menajemen? tentunya dalam rangka penyempurnaan menerus


Suwun

No comments: