Thursday, March 27, 2008

Prendis di Berita






Meningkatkan Kemakmuran Masyarakat Sekitar Hutan
Kompas; Jumat, 28 Maret 2008 | 02:22 WIB

HENDRIYO WIDI

Dengan sabar, Mbah Pani (80) mengumpulkan rencek atau kayu bakar dari dahan jati yang dipanen Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan atau KPH Randublatung, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Rabu (12/3). Perempuan asal Dukuh Badong, Desa Kelapaduwur, Kecamatan Banjarejo, itu sesekali menyeka peluh yang merambati keningnya yang keriput.

Ia tidak mau berebutan dengan para pencari rencek lain. Ia juga tidak iri jika pencari rencek lain mendapat kayu lebih banyak.

”Gusti sudah memberi setiap orang rezeki sendiri. Kalaupun memperoleh rencek banyak sekali, si Mbah tidak kuat mengangkatnya,” kata dia sembari tersenyum menunjukkan giginya yang sudah tidak genap lagi.

Mbah Pani hanya mampu mengumpulkan empat bongkok atau ikat rencek setiap kali pergi ke hutan. Rencek itu tidak pernah dijual, tetapi digunakan untuk memasak.

Seminggu sekali, Mbah Pani cukup membeli satu liter minyak tanah. Minyak tanah itu dimanfaatkan untuk membuat api.

Bagi Mbah Pani, uang untuk membeli minyak tanah lebih baik digunakan untuk membeli bahan makanan. Tak jarang uang itu diberikan sebagai uang saku cucunya.

Mbah Pani mengatakan, rencek itu habis setelah 10 hari. Jika digunakan bersama anak- anaknya, rencek hanya dapat dimanfaatkan untuk empat hari.

”Ya, kalau habis harus cari lagi. Kalau tidak, mau masak pakai apa?” kata Mbah Pani yang selalu membawa uang Rp 2.000 setiap kali pergi mencari rencek.

Bersama sejumlah tetangganya, Mbah Pani mencari rencek di kawasan hutan jati KPH Randublatung. Ia berangkat naik bus umum dari desanya yang berjarak sekitar tujuh kilometer dari kawasan hutan jati.

Pulangnya, ia mencegat truk atau mobil bak terbuka untuk membawa rencek. Ia harus membayar Rp 1.000 kepada sopir yang bersedia berhenti dan mengangkut rencek Mbah Pani.

Usai bongkok-bongkok kayu itu diturunkan di tepi jalan, Mbah Pani mengangkut bongkok itu satu per satu menuju rumahnya. Jarak rumah Mbah Pani dari jalan raya sekitar tiga kilometer.

Bukan hanya Mbah Pani yang merasakan manfaat hutan jati. Bagi Sumardi (40), petani Dukuh Kaliklampok, Desa Ngliron, Kecamatan Randublatung, hutan jati memberikan tambahan penghasilan.

Setiap kali Perum Perhutani memanen jati, Sumardi beralih kerja menjadi buruh tarik kayu jati atau penyarad. Ia memanfaatkan dua ekor sapinya untuk menarik gelondongan kayu jati yang sudah ditebang.

Sembari mengistirahatkan sapi-sapinya, Sumardi berkisah. Setiap kali Perum Perhutani memanen jati, mereka selalu menghubungi para petani di desa dekat lokasi tebangan. Mereka meminta petani membentuk satu kelompok penarik gelondong kayu yang terdiri dari empat orang.

”Kami mendapat bayaran Rp 12.000 per meter kubik kayu,” kata Sumardi yang pernah menarik kayu hingga 90 meter kubik.

Biasanya pekerjaan itu dilakukan selama 15 hari atau sesuai dengan luas lokasi tebangan. Pekerjaan itu rata-rata dilakukan setiap tiga bulan sekali.

Menurut dia, pekerjaan itu sangat membantu meringankan beban hidup sehari-hari. Uang hasil kerja menjadi buruh tarik kayu digunakan untuk modal bertani dan membiayai dua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar.

Sahabat

Bagi Sumardi dan Mbah Pani, hutan dan pohon jati merupakan sahabat karib yang memberi hidup. Begitu juga bagi Jatinah (40), warga Desa Tegalrejo, Kecamatan Cepu.

Ibu tiga anak itu mengatakan, setiap bagian pohon jati, yaitu daun, ranting, batang, dan akar, ngrejekeni atau memberi rezeki. Namun, ia tidak dapat memanfaatkan semua bagian itu karena keterbatasan hidupnya.

Jatinah lebih memilih mencari daun jati. Terkadang, ia juga mencari rencek untuk memasak.

Setiap dua hari sekali, Jatinah mencari daun jati di hutan jati di sepanjang kanan-kiri jalan Blora-Cepu. Mulai pukul 07.00-13.00, biasanya ia mampu mengumpulkan empat gulung daun jati.

”Satu gulung daun jati berukuran besar laku Rp 5.000, dan yang berukuran kecil Rp 4.000,” kata Jatinah yang menjual daun jati itu di Pasar Cepu.

Jatinah mengaku, hasil penjualan daun jati itu dapat digunakan membeli kebutuhan hidup sehari-hari. Ia tak mungkin terus bergantung kepada suaminya yang bekerja sebagai petani, karena baru mendapat uang setelah panen padi.

Menyerap tenaga kerja

Bagi masyarakat sekitar hutan, keberadaan hutan jati sangat menunjang kesejahteraan hidup mereka. Setiap bagian pohon jati, daun, ranting, batang, dan akar dapat dimanfaatkan. Begitu pula setiap jengkal tanah hutan jati yang dapat ditanami tanaman tumpang, misalnya jagung.

Luas hutan di wilayah KPH Randublatung lebih kurang 32.000 hektar. Hutan itu tersebar di 34 desa. Sebanyak 33 desa sudah menandatangani nota perjanjian Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).

Berdasarkan data KPH Randublatung Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah tahun 2005, perekonomian masyarakat sekitar hutan di wilayah KPH Randublatung bertumpu pada sektor pertanian, terutama lahan kering.

Penduduk bermata pencarian sebagai petani berjumlah 16.952 jiwa (65,38 persen) dan buruh tani 6.509 jiwa (25,1 persen). Sisanya sebagai pegawai negeri sipil, TNI/Polri, karyawan swasta, wiraswasta, pertukangan, dan jasa.

Pendapatan rata-rata masyarakat sekitar hutan sangat bervariatif. Pendapatan penduduk desa satu dengan yang lain berbeda-beda.

KPH Randublatung mencatat pendapatan terendah masyarakat yang bergantung dari hutan pada 2005 sebesar Rp 697.857 per tahun. Sementara itu, pendapatan tertinggi mencapai Rp 8.784.326 per tahun.

Pada tahun-tahun sebelumnya, pendapatan rata-rata masyarakat sekitar hutan berkisar Rp 480.000-Rp 5.500.00 per tahun. Seiring dengan semakin terbukanya lapangan pekerjaan di hutan, pendapatan itu naik secara bertahap.

Perum Perhutani menggandeng mereka untuk bekerja di bidang tebangan, penyaradan, persemaian, tanaman, dan teresan. Serapan tenaga kerja itu kebanyakan didominasi kalangan petani dan buruh tani.

Tercatat dari tahun ke tahun, masyarakat sekitar hutan yang bekerja dalam kegiatan PHBM semakin bertambah. Misalnya pada 2006, tenaga kerja yang terserap 3.350 orang. Dengan tenaga kerja sebanyak itu, KPH Randublatung mengeluarkan biaya Rp 2,3 miliar.

Pada 2007, serapan tenaga kerja meningkat menjadi 9.657 orang. Pada tahun itu, KPH Randublatung mengeluarkan biaya sekitar Rp 5 miliar.

Administratur KPH Randublatung Perum Perhutani Unit I Jateng Hari Priyanto mengatakan, Perum Perhutani tidak dapat menyerap semua masyarakat sekitar hutan untuk menjadi tenaga kerja. Namun, mereka dapat memanfaatkan hutan jati itu.

”Mereka dapat mencari rencek, akar, dan daun jati. Kadang kala juga ada warga yang bercocok tanam di lahan Perhutani meski tidak tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH),” kata dia.

Kepala Seksi Pengelolaan Sumber Daya Hutan KPH Randublatung Trisno Aji mencontohkan, setiap kali menebang pohon, Perhutani selalu melibatkan masyarakat. Mereka dapat bekerja sebagai penebang pohon dan penyarad gelondong jati.

”Setiap kali tebangan A2, Perhutani melibatkan lebih kurang 70 orang per petak. Padahal, jenis tebangan A2 berjumlah 21 petak, belum lagi tebangan jenis kayu jati lain,” ujar dia.

Pemberian honor pekerja tergantung luasan petak, jenis kayu, dan jarak. Misalnya, penyarad diberi honor Rp 10.500-Rp 14.500 untuk menarik jati berjarak 200-600 meter. Jika jenis kayu tebangan basah, biaya itu dinaikkan 20 persen.

No comments: